Pendidikan adalah dunia nyata yang harus kita selami bersama....nikmatilah dunia pendidikan yang sekarang kamu geluti.

Selasa, 27 Mei 2008

Kiat Menulis Feature

KIAT-KIAT MENULIS FEATURE

Ada beberapa kiat yang dapat digunakan untuk menulis feature (Wibowo, 2003: 160).

Bukalah mata ke arah hal-hal yang menarik di sekitar kita (sebab, orang selalu tertarik kepada orang). Atau, demi faktual, pilihlah news peg (“meminjam” berita surat kabar, lalu dijadikan topik features).

Tentukanlah angle (sudut/segi cerita) dari pelbagai kemungkinan (bisa dari aktivitas para tokohnya, situasi peristiwanya, atau benang merah yang menjalin aktivitas dan situasi tersebut).

Caranya: (1) gunakanlah imajiansi dan kekuatan pengamatan (2) perhatikan orang yang memiliki pandangan yang berbeda, unik, atau lain daripada yang lain;

Pikat pembaca dengan kata-kata pertama

Menarik pembaca untuk terus membacanya. Caranya, pegang terus fokus cerita. Buatlah pembaca terus bertanya dalam hati, “ada apa?”, “lalu?”, “tapi, kok, bisa begitu?”, “terus?”, “terus?”, “terus ?”

Ada topik features yang sebenarnya tidak terlalu menarik bagi pembacanya. Namun, gara-gara judulnya menarik, pada akhirnya features itu dinikmati pembaca.

Pakailah kutipan dan anekdot. Sebab menggunkan kutipan dan anekdot ibarat menaburi pembaca dengan butiran mutiara selama ia membaca.

Hindari kalimat-kalimat dan alinea-alinea panjang. Jangan lupa pula menggunakan penegasan dalam kalimat.

Gunakan kalimat aktif (agar, suasana menjadi dinamis).

Galilah diksi, majas (analogi dan metafora), hindarilah jargon dan slang, karena slang sifatnya musiman dan maknanya hanya dimengerti oleh anggota kelompok tertentu.

Jangan memasukkan semua hal yang Anda ketahui yang kesannya nanti akan malah menggurui.

Menulislah dengan bebas. Jangan berpikiran Anda sedang diawasi seperti ketika sedang menulis skripsi

Tulislah beberapa intro (lead). Pilihlah yang paling pas.

        • Ceritakanlah kepada teman, sehingga benyak masukan ide yang mendukung penulisan feature.

Syarat Menulis Feature

  1. ERSYARATAN POKOK MENULIS FEATURE

Menguasai bahasa Indonesia secara baik dan benar. Penguasaan bahasa sangatlah penting mengingat fungsinya sebagai alat komunikasi. Oleh sebab itu, penguasaan bahasa mestilah menganut asas efektif (kemampuan untuk memilik sasaran yang tepat) dan efisien (kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan benar).

Memiliki pengetahuan yang luas tentang jiwa manusia. Karena features selalu bersinggungan dengan soalan kehidupan manusia, sebaiknya si penulis belajar mengenal jiwa manusia dari segala aspeknya.

Memiliki pengetahuan umum yang luas. Ini adalah syarat mutlak bagi seorang penulis features. Dalam menulis features kita harus terus-menerus mengasah kemampuan sebagai generalis. Dengan berpengetahuan umum luas, dengan amat mudah kita dapat mengembangkan bahan features yang kita peroleh.

Memiliki pandangan yang dewasa terhadap etika dan budaya masyarakat sendiri

Memiliki ketajaman pikiran untuk melihat soalan kemasyarakatan. Seorang penulis features yang dianggap baik adalah bila ia bisa membaca dan menganalisis gejala kemasyarakatan yang sedang marak.


Struktur Feature

  1. STRUKTUR FEATURE

  1. Judul

Judul tidak sama dan tidak harus mengikuti aturan pembuatan headlines. Judul yang cocok dan memikat tidak harus berupa ringkasan, yang penting harus menarik dan menggugah minat. Judul suatu feature juga merupakan bagian subjektifitas dari penulis sehingga sifatnya sangat orisinal dalam gaya dan penyusunan kata-katanya. Judul tidak harus berupa kalimat lengkap (subjek, predikat, dan objek), tak perlu tegas menyiratkan maksud utama penulis atau tegas menyamarkan makna (mengandung arti ganda).

Untuk membuat judul yang cocok dan memikat, kata-kata disusun sedemikian rupa, melibatkan wawasan, emosi dan kecerdikan penulis untuk menarik perhatian pembaca. Aspek ritme, humor, dan kreativitas.

Dalam feature, judul tidak perlu berupa ringkasan. Faktor subjektivitas penulisan mendorong judul feature harus memiliki sifat orisinal dalam memilih gaya dan menyusun kata-kata. Di samping itu, judul feature harus ditulis berkaitan dengan lead, tidak mesti ditulis dalam kelengkapan kalimat subjek-predikat-objek. Menurut Santana K. (2005: 95-117) ada berbagai jenis judul yang biasa digunakan oleh wartawan. Judul-judul tersebut ditampilkan seperti berikut.

    1. Judul dari titikpandang isi

Judul ini meletakkan sudut pandang dari materi tulisan sebagai daya pengungkap dan penjelas. Sekaligus penerik awal kepada pembaca akan tulisan yang akan dibacanya. Kandungan judul merefleksikan materi tulisan. Tiap katanya memberi tentang apa yang terdapat di dalam keseluruhan tulisan sehingga pembaca bisa memutuskan akan membacanya atau tidak. Misalnya, Dua Kali Pemilu dalam Satu Periode Pelita, Seekor Kuda Selamatkan Sekolah, dan lain-lain.

    1. Judul how-to

Wartawan hendak menerangkan isi atau maksud tulisan yang disusun dalam keringkasan judul yang spesifik. Misalnya, Bagaimana Cara Tetap Langsing Setelah Kehilangan Berat, Bagaimana Menjalankan Bisnis Waralaba, dan sebagainya.

    1. Judul-judul 5W + 1H

      1. Who

Merujuk pada nama orang-orang yang menjadi topik tulisan. Selebritis, politikus, adalah mereka yang kerap ditampilkan. Misal: Ian Antono Lebih Suka Sedan.

      1. What

Judul yang menunjukkan sejumlah fakta luar biasa dari materi tulisan. Misal: Dana Pendidikan pun Dinikmati Koruptor.

      1. Where

Mendiskripsikan sebuah tempat yang menjadi salah satu fokus materi tulisan. Misal: Di Bali, PDIP marah.


      1. When

Bertautan dengan fakta-fakta ”waktu” (sejarah) yang hendak ditonjolkan. Misal: Estee Lauder Wafat di Usia Ke-97.

      1. Why

Biasanya bersifat argumentatif, mengapungkan sebuah usulan gagasan. Misal: Isu Agama Kerap Dijadikan Alat Kepentingan Kekuasaan.

      1. How

Lebih merupakan judul untuk tulisan-tulisan kependidikan, contoh: Cara Mengajar Musik Klasik.

    1. Judul superlatif

Teknik memakai judul-judul yang mengilustrasikan keluar-biasaan atau kehebatan dari materi. Contoh: Manusia Tercepat Di Dunia, Bertemu dengan Manusia Paling Jenius.

    1. Judul bertanya

Penggunaan tanda tanya dalam judul yang biasanya menyentak, menggugah. Atau, mengingatkan masyarakat pada peristiwa tertentu, baik yang tengah aktual ataupun sudah lampau. Contoh: Pakai Kacamata Jadi Norak?

    1. Judul dari titikpandang bentuk

Judul ini sering dianggap sebagai bentukan utama dari judul tulisan jurnalisme. Umumnya, menggunakan tema-tema ”obrolan” yang banyak dibicarakan orang. Seperti, Lidah Buaya: dari Sampo sampai Tukang Tipu. Ada juga judul yang dibentuk dari dua kalimat yang disambungkan dengan ”dan” atau ” atau”. Misal: Memandang Artis Porno Atau Mengukur Paha-Dada Wanita.

  1. Pembuka (Lead)

Pembuka atau lead merupakan bagian penting dalam penulisan feature. Kreativitas banyak digali untuk membuat lead yang menarik dan dapat menggiring pembaca untuk melahap keseluruhan tulisan. Sebuah lead bisa terdiri dari hanya satu paragraf, bisa pula tersusun atas beberapa paragraf.

Lead dalam struktur feature digunakan sebagai alat pemancing minat dan atensi pembaca. Setiap jurnalis mesti memiliki kesadaran tinggi akan perlunya lead. Mereka harus menghindari pembuatan lead yang tak bermutu. Lead dituju untuk: (1) menarik pembaca untuk mengikuti materi tulisan; (2) merupakan cara untuk melancarkan pemcaparan kisah.

Untuk dua tujuan itu lead dikembangkan menjadi berbagai jenis yang siap dipilih penulis demi efek-efek tertentu yang diinginkan. Ada lead yang sengaja dipilih untuk menyentakan pembaca. Ada yang digunakan untuk menggunakan untuk mengajak imajinasi pembaca jalan-jalan ke tempat-tempat yang jauh. Ada juga yang dipilih sekedar untuk meringks isi keseluruhan tulisan.

Ringkasnya pembuatan lead memberi keleluasaan kepada penulis dan tidak mengukung penulis dengan kaidah-kaidah yang membekukan kreativitas. Gaya naratif dalam penulisan, membantu penulis untuk tidak menyudutkan pembaca dengan suguhan materi-materi yang berat dan membuat jenuh. Setelah menyajikan cerita yang menarik diawal tulisan, penulis meringankan diskusi yang sebenarnya berat karena telah berhasil menarik minat pembaca dengan bagian awal tulisannya.


  1. Tubuh (Body)

Kerja kreatif penulisan menyumbangkan proses pembentukan gairah yang subjektif bagi pengembangan materi tulisan. hasil dari kerja keras tersebut ialah pencapaian gaya yang orisinal dan pemuatan garis pikiran tertentu. Tema bahasan melebur dalam pembauran bentuk dan gaya jenis dan tehnik penulisan yang khas pada setiap penulis. Proses penulisan memerlukan kerja keras membolak-balik tumpukkan bahan penulisan. Beberapa penulis rela berkutat dalam pekerjaan yang merujuk pada ketekunan membongkar-bongkar bahan. Ada juga penulis yang membolak-balik menengok catatan dan mengetik isi catatan itu. Menulis dan mengecek informasi dilakukan secara bersamaan.

Seperti jenis tulisan lainnya, feature juga memiliki tekhnik pengembangan tubuh dengan tekhnik pengembangan isi dengan karakteristik tertentu. Dalam penyusunan paragraf/alinea, ada 3 hal pokok yang harus diperhatikan: kesatuan (unity), hubungan (coherence), dan penekanan (emphasis). Ketiganya menekankan pada hasil tulisan yang dapat langsung diterima pembaca karena kelancaran pengisahan bagian-bagiannya. Ketiga pokok perhatian itu merujuk pada kepiawaian penulis dalam menyusun tema pokok atau ide utama, memilih bahan-bahan penting dan mengemasnya sedemikian rupa, menciptakan jembatan yang menghubungkan satu paragraf dengan paragraf lain secara .lancar, enak dibaca dan tidak kaku.


  1. Penutup (Conclusion)

Penulis memiliki perang penting. Penulis mengunci tulisan dengan conclusion atau ending yang menimbulkan kesan mendalam dan kuat dibenak pembaca, serta menumbuhkan hasrat pembaca untuk terus memakai gagasan-gagasan yang diterimanya dari penulis.

Teknik penulisan feature memerlukan ending karena dua hal, yaitu:

  1. Feature tidak tergantung pada deadline, sedangkan kerangkanya menentang pola piramida terbalik. Redaktur tidak bisa mengubah feature dengan begitu saja memotong bagian-bagian tulisan, dia harus cermat menghitung dampak peringkasan yang dilakukan agar tidak sampai mengganggu isi dan gaya keseluruhan tulisan.

  2. Prinsip dasar penulisan feature ialah bercerita. Setiap kata dipilih dan disusun sedemikian rupa agar bisa mengomunikasikan materi laporan seefisien mungkin. Agar tujuan itu tercapai, ending harus berkaitan dengan lead dan body tulisan. Ending bukan hanya berfungsi untuk mengakhiri tulisan, tetapi yang lebih penting untuk membuat pembaca terkesan oleh pokok pemikiran penulis.

Pada dasarnya, semua pengembangan ending selalu merujuk keberbagai jenis penutup. Penulis tetap mengikuti aturan main bahwa penutup harus disusun untuk membuat pembaca tahu bahwa mereka sudah sampai diakhir tulisan. untuk membuat penutup menarik, penulis harus ingat bahwa tulisannya tidak sama dengan gaya tulisan jurnalisme lama.

Menurut Fox Mott (dalam Asraatmaja, 2002:221) ada 3 bentuk penutup feature, yaitu:

  1. Ringkasan fakta-fakta penting dari keseluruhan feature.

  2. Merupakan klimaks dalam keseluruhan fakta-berita (penulis bisa berhenti bila merasa akhir cerita sudah jelas dan tak perlu menambah lpost klimaks).

  3. Merupakan potongan balik atau kilas balik yang dengan kata-kata berbeda mengulang hal-hal penting dan mengingatkan pembaca sekaligus mengakhiri tulisan.

Jenis penutup yang dipilih harus membuat pembaca terkesan akan pencitraan imaji tertentu. Penulis kerap sengaja mengubah beberapa ketentuan jurnalistik lama. Unsur yang menyusun struktur feature dibangun dengan kaidah sastra. Tak kalah pentingnya adalah faktor yang tidak hanya berfungsi sebagai aksesorisyang dapat membuat tulisan menarik tetapi juga memperlancar pengisahan,yaitu keterampilan membuat deskripsi (penggambaran subjek tulisan) dan anekdot (penggalan cerita yang mengesankan dan berkaitan dengan subjek cerita).


Jenis-jenis Feature

  1. JENIS-JENIS FEATURE

Feature yang sering dimuat di media massa dapat dipilah-pilah jenisnya. Pemilihan ini dilakukan para pakar dengan berdasarkan materi yang disajikan. Jenis-jenis feature tersebut sangat bermanfaat untuk memberikan wawasan kepada wartawan, betapa luasnya permasalahan yang bisa dijadikan feature. Jenis-jenis feature tersebut diuraikan menurut Ermanto (2005: 149-150) sebagai berikut.

        1. Feature human interest

Feature human interest ialah feature yang menyajikan permasalahan-permasalahan kehidupan yang memiliki daya tarik manusiawi/ human interest, permasalahan hidup yang menyentuh rasa/ lubuk hati manusia. Ada rasa haru, takjub, simpati dari permasalahan yang disajikan. Biasanya permasalahan itu diabaikan wartawan untuk menjadi berita atau reportase, tetapi wartawan merasakan ada informasi yang mampu menyentuh hati orang lain bila mengetahuinya. Materi yang seperti ini perlu menjadi perhatian wartawan untuk dijadikan feature dalam media massa.

        1. Feature sejarah

Feature sejarah ialah feature yang mengangkat persoalan sejarah yang menarik untuk dicerna pembaca masa kini. Persaoalan-persoalan yang terdapat dalam peristiwa sejarah pantas disajikan kembali, sepanjang wartawan mampu menemukan sisi-sisi yang menarik. Peristiwa perjuangan, proklamasi, peristiwa G 30 S PKI, dan banyak lagi peristiwa sejarah lain yang mampu disajikan kembali menurut sudut pandang tertentu. Sajian itu berisi informasi yang menarik dan bermanfaat.

        1. Feature biografi

Feature mengangkat sosok yang terkenal. Keberhasilan dan sikap hidup seseorang yang disegani atau dikagumi amat penting diketahui oleh masyarakat. Karena dirasakan amat penting, wartawan menyajikan sosok orang itu melalui surat kabar dalam bentuk feature. Seperti kesederhanaan hidup dari orang kaya, atau pejabat rendah hati, dan lain sebagainya. Ada sisi-sisi menarik dalam perjalanan hidup mereka. Inilah yang disajikan wartawan dalam bentuk feature.

        1. Feature perjalanan

Feature perjalanan objeknya hampir sama dengan reportase, sebab perjalanan wartawan dapat dijadikan reportase. Dalam penulisan reportase, permasalahan yang ditemui dalam perjalanan dijadikan dalam pendalaman data dan fakta. Sedang dalam penulisan feature, permasalahan yang dijadikan feature ialah permasalahan yang dianggap penting walaupun sederhana, menarik, dan bermanfaat bagi pembaca.

        1. Feature petunjuk melakukan sesuatu

Feature ini mengajarkan kepada orang lain (pembaca) untuk melakukan sesuatu. Feature ini biasanya berbentuk tulisan-tulisan yang memberi petunjuk-petunjuk sederhana. Materinya pun sederhana, tetapi sangat bermanfaat karena sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari oleh pembaca. Contoh, tulisan yang berisi petunjuk menata ruangan sempit hingga memberi kesan luas. Dan masih banyak lagi. Pada intinya, feature ini berbentuk praktis, mudah diterapkan untuk mengatasi persoalan kehidupan yang ditemui setiap hari.

6. Feature Ilmiah

Feature ilmiah berisi materi ilmu pengetahuan. Bisa berupa hal-hal yang sudah diketahui pembaca atau belum diketahui, tetapi pernah didengar. Materinya ilmiah, tetapi penyajiannya secara sederhana, lincah, dan menarik.

Selain jenis-jenis feature yang telah disebutkan di atas, Wicaksono (2007) membagi jenis-jenis feature sebagai berikut.

  1. Feature kepribadian (Profil)

Profil mengungkap manusia yang menarik. Misalnya, tentang seseorang yang secara dramatik, melalui berbagai liku-liku, kemudian mencapai karir yang istimewa dan sukses atau menjadi terkenal karena kepribadian mereka yang penuh warna. Agar efektif, profil seperti ini harus lebih dari sekadar daftar pencapaian dan tanggal tanggal penting dari kehidupan si individu. Profil harus bisa mengungkap karakter manusia itu.

Untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan, penulis feature tentang pribadi seperti ini seringkali harus mengamati subyek mereka ketika bekerja; mengunjungi rumah mereka dan mewawancara teman-teman, kerabat dan kawan bisnis mereka. Profil yang komplit sebaiknya disertai kutipan-kutipan si subyek yang bisa menggambarkan dengan pas karakternya. Profil yang baik juga semestinya bisa memberikan kesan kepada pembacanya bahwa mereka telah bertemu dan berbicara dengan sang tokoh.

Banyak sumber yang diwawancara mungkin secara terbuka berani mengejutkan Anda dengan mengungkap rahasia pribadi atau anekdor tentang si subjek. Tapi, banyak sumber lebih suka meminta agar identitasnya dirahasiakan. Informasi sumber-sumber itu penting untuk memberikan balans dalam penggambaran si tokoh.

  1. Feature sejarah

Feature sejarah memperingati tanggal-tanggal dari peristiwa penting, seperti proklamasi kemerdekaan, pemboman Hiroshima atau pembunuhan jenderal-jenderal revolusi. Koran juga sering menerbitkan feature peringatan 100 tahun lahir atau meninggalnya seorang tokoh.

Kisah feature sejarah juga bisa terikat pada peristiwa-peristiawa mutakhir yang memangkitkan minat dalam topik mereka. Jika musibah gunung api terjadi, Koran sering memuat peristiwa serupa di masa lalu.

Feature sejarah juga sering melukiskan landmark (monumen/gedung) terkenal, pionir, filosof, fasilitas hiburan dan medis, perubahan dalam komposisi rasial, pola perumahan, makanan, industri, agama dan kemakmuran.

Setiap kota atau sekolah memiliki peristiwa menarik dalam sejarahnya. Seorang penulis feature yang bagus akan mengkaji lebih tentang peristiwa-peristiwa itu, mungkin dengan dokumen historis atau dengan mewawancara orang-orang yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa bersejarah.

  1. Feature petualangan

Feature petualangan melukiskan pengalaman-pengalaman istimewa dan mencengangkan, mungkin pengalaman seseorang yang selamat dari sebuah kecelakaan pesawat terbang, mendaki gunung, berlayar keliling dunia pengalaman ikut dalam peperangan.

Dalam feature jenis ini, kutipan dan deskripsi sangat penting. Setelah bencana, misalnya, penulis feature sering menggunakan saksi hidup untuk merekontruksikan peristiwa itu sendiri. Banyak penulis feature jenis ini memulai tulisannya dengan aksi — momen yang paling menarik dan paling dramatis.

  1. Feature musiman

Reporter seringkali ditugasi untuk menulis feature tentang musim dan liburan, tentang Hari Raya, Natal, dan musim kemarau. Kisah seperti itu sangat sulit ditulis, karena agar tetap menarik, reporter harus menemukan angle atau sudut pandang yang segar. Contoh yang bisa dipakai adalah bagaimana seorang penulis menyamar menjadi Sinterklas di Hari Natal untuk merekam respon atau tingkah laku anak-anak di seputar hara raya itu.

  1. Feature Interpretatif

Feature dari jenis ini mencoba memberikan deskripsi dan penjelasan lebih detil terhadap topik-topik yang telah diberitakan. Featureinterpretatif bisa menyajikan sebuah organisasi, aktifitas, trend ataugagasan tertentu. Misalnya, setelah kisah berita menggambarkan aksi terorisme, feature interpretatif mungkin mengkaji identitas, taktik dan tujuan terotisme.

Berita memberikan gagasan bagi ribuan feature semacam ini. Setelah perampokan bank, feature interpretatif bisa saja menyajikan tentang latihan yang diberikan bank kepada pegawai untuk menangkal perampokan. Atau yang mengungkap lebih jauh tipikal perampok bank, termasuk peluang perampok bisa ditangkap dan dihukum.

  1. Feature kiat (how-to-do-it feature)

Feature ini berkisah kepada pembacanya bagaimana melakukan sesuatu hal: bagaimana membeli rumah, menemukan pekerjaan, bertanam di kebun, mereparasi mobil atau mempererat tali perkawinan. Kisah seperti ini seringkali lebih pendek ketimbang jenis feature lain dan lebih sulit dalam penulisannya.

Berdasarkan dua pendapat dari para ahli tersebut, jenis-jenis feature dapat digolongkan menjadi delapan jenis, yaitu:

  1. Feature human interest

  2. Feature sejarah

  3. Feature biografi/kepribadian

  4. Feature perjalanan

  5. Feature kiat/ petunjuk melakukan sesuatu

6. Feature Ilmiah

  1. Feature petualangan

  2. Feature musiman

  3. Feature Interpretatif

Peran Feature

PERAN-PERAN FEATURE

Peran-peran feature antara lain (Kurnia, 2002:229-265):

  1. Feature sebagai Jembatan

Objek dalam feature ialah sentimen kemanusiaan yang terbentuk dalam rumusan “yang kauketahui, kausayangi atau kaubenci”. Hal tersebut berarti emosi penulis cukup terlibat dialamnya. Niat penulis feature timbul dari dorongan perasaan suka atau tidak suka; emosi manusiawi yang tergerak (passion) terhadap objek yang diminati, perhatikan, dan pikiran untuk disampaikan kepada pembaca koran atau majalah karena kegunaan, manfaat, atu kepentingannya bagi khalayak ramai.

Oleh karena itu, feature mengandung nilai human interest dan warna cerita (colour story yang sangat kaya). Feature juga memberikan padanan dan pedoman untuk mengitimitasi upaya kreativitas sastra.

Dalam perkembangan jurnalisme, feature merupakan teknik penulisan yang mengatasi kekakuan straight news dalam mengkover berita-berita utama (hard news atau spot news). Selain itu, feature memiliki perangkat persuasi. Unsur-unsur yang membangun stuktur penulisan feature jumlahnya jadi lebih banyak. Misalnya, dalam penyusunan lead, body, dan penutup.

Karena muatan dalam penulisannya cukup banyak, feature banyak dipakai oleh berbagai jenis pelaporan jurnalisme. Sebagai teknik penulisan, ia memungkinkan jurnalis untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan agar tulisannya memikat, lancar, dan ringkas.


  1. Feature sebagai News Story

Feature disini berperan sebagai alat pemberitaan yang dapat menunjang kekuatan tulisan. Hal tersebut tercermin ketika penulis: a) penulis menentukan sasaran dan efek tulisannya, b) saat penulis menyusun elemen fakta dan elemen waktu (timelines) menjadi materi tulisan yang erat kaitannya dengan berita utama.

Feature biasanya mengangkat kisah-kisah “musiman” (sensasional), misalnya sketsa tentang seorang tokoh lokal, acara shopping, catatan jurnalistik tentang perayaan hari besar, dan berita ringan lainnya yang sedang tren.


  1. Feature sebagai Artikel

Feature berperan sebagai penyelamat yang dapat mengatasi kelemahan penyajian berita majalah yang dianggap sudah basi. Dengan rekayasa yang kreatif, isu-isu yang telah digarap dalam surat kabar diolah menjadi sajian yang tetap hangat, aktual, dan memikat. Penulisan artikel feature yang lengkap bertujuan: a) sebagai hiburan, b) memberi informasi (to inform), dan c) mengajarkan sesuatu (to teach).




  1. Feature sebagai Esai

Proses asimolasi timbul saat feature memasuki struktur penulisan esai. Proses tersebut berlangsung dalam tataran penentuan tujuan saat menulis esai (yang kerap kontemplatif) dengan hasil tulisannya (yang menyerap gaya struktur feature).

Hal tersebut terasa kuat ketika jurnalisme memakai berbagai bentuk jenis esai. Dalam bidang pemberitaan, menurut Nelson (dalam Santana, 2002:266), berbagai kalangan menganggap feature sebagai teknik pemberitaan untuk mendeskripsikan peristiwa yang diusahakan semirip munngkin dengan esai informatif atau esai naratif. Ketika laporan berita dibuat agar enak dibaca, sebenarnya kekuatan feature memakai pendekatan subjektif seorang esais yang menulis bagaikan sedang mengobrol dengan kawan dekatnya. Dalam jurnalisme yang menyajikan opini, bentuk esai digunakan untuk menyampaikan hal-hal yang bersifat kontemplatif.

  1. Tiga Aspek Esai

Menurut Dobi & Hirt (dalam Santana, 2002:270-272) esai mempunyai wacana penulisan yang bisa diukur berdasarkan aspek-aspek tertentu, yaitu:

  1. Makna

Makna (meaning) ialah ide sentral, inti, atau gagasan utama penulis. Makna biasanya dirumuskan dalam kalimat tunggal yang mencakup semua hal yang hendak disampaikan esais. Gagasan utama dalam kalimat tunggal tersebut bisa disajikan secara eksplisit (bisa berupa kutipan) maupun implisit (pembaca harus memformulasikannya sendiri).

Feature disini menjadi medium estetik para esais untuk menciptakan kreasi yang khas dan pribadi. Dalam esai yang baik, pembaca tidak mungkin lagi menolak atau mengkritik akurasi pandangan atau argumen penulis; apalagi mempertanyakan kapabilitas referensinya.

  1. Organisasi

Organisasi esai telah dirombak oleh feature. Paparannya jadi tidak liier, tidak baku. Bagian-bagiannya tidak selalu urut dari awal, tengah, hingga akhir.

Esai ditulis dengan teknik pengisahan yang penceritanya bebas menyampaikan opininya. Gagasan utamanya dialurkan dalam pola lead, body, dan penutup yang masing-masing berstruktur longgar dan jenisnya dipilih sesuai dengan minat atau mood penulis.

  1. Gaya

Gaya dalam esai mengacu pada penguasaan referensi berbahasa yang tertanam dalam benak penulis melalui pendalamannya terhadap penyajian teks. Setiap kata harus setepat dan sejelas kebenaran yang diinginkan penulis, berkaitan dengan kata di depan atau belakangnya, bersifat konkret dan umum, dikenal penulis dan pembaca, serta sesuai dengan subjek dan konteks yang dibahas. Selain itu, kalimat dalam esai juga harus bervariasi.

  1. Posisi Esai

Esai merupakan satu bentuk tulisan yang khas. Dalam jurnalisme, esai mendapat tempat tersendiri karena banyaknya sastrawan yang merefleksikan pandangannya melalui bentuk esai.

Esai jurnalistik ditulis dengan mempertimbangkan minat pembaca. Kata-kata di dalamnya dipilih dengan cermat, kalimat yang dibuat singkat, paragraf hanya diisi satu gagasan. Hal tersebut dimaksudkan agar esai mudah dibaca, langsung dimengerti, dan memunculkan atensi atau perhatian pembaca.

Esai jurnulistik berisi fakta-fakta (untuk menjelaskan apa dan bagaimananya sesuatu), gagasan tertentu (untuk mempengaruhi opini pembaca tentang sesuatu), atau gambaran tentang sesuatu atau pengalaman tertentu.

Ciri-ciri esai jurnalistik yakni, pendek (short), tinggi (high), tajam (flair), dan personal. Hal-hal tersebut saling berkaitan sehingga mencerminkan pribadi yang nyata dan menimbulkan rasa ketertarikan pembaca.


  1. Kategori Esai

    1. Informasi

Dalam kategori ini, penulis esai informasi bertindak seperti pengajar. Ia mengasumsilan bahwa pembaca perlu diberi informasi tertentu (pembaca diposisikan sebagai bagian dari masyarakat yang membutuhkan tambahan pengetahuan yang bermanfaat).

Isi esai informasi ersifat praktis dan tidak kontroversial. Pengetahuan praktis yakni segala sesuatau yang bermanfaat nbagi pembaca yang sebelumnya diras tidak begitu penting, misalnya cara-cara menyibukkan diri di hari libur dll. Masalh kontroversial dihindari karena dianggap akan membebani pembaca yang sudah lelah bekerja.

    1. Opini

Bentuk esai ini banyak ditujukan pada upaya mengarahkann atau mengemukakan pini publik. Setiap pergeseran yang terjadi si masyarakat membutuhkan pandangn tertentu, baik yang bersifat solutif maupun filosoofis. Berbagai permasalhan di masyarakat harus ditanggapi sesuai dengan konteks persoalnnya dan dicarikan pemecahannya agar kehidupann kembali berjalan ke arah yang diinginkan.

    1. Interpretif

Interpretif diperlukan untuk memberitahu pembaca tentang hubungan antara suatu peristiwa sosial dengan perkembangan politik masyarakat. Esai interpretatif menyampaikan nnformasi dengan perspektif tertentu. Yakni pengumpulan data dan fakta yang kemudian diinnformasikan kepada pembaca dalam kerangka berbikir tertentu.

    1. Inspiratif

Esai inspiratif sering menampilkan materi yang bersifat skeptis atau kritis dengan niat memberi ilham atau semacam sentuhan rohani. Esai ini menekankan aspek afektif, yakni membangkitkan afeksi pembaca dengan menampilkan kisah-kisah yang menyentuh.

Nilai Artistik Feature

  1. NILAI ARTISTIK FEATURE

Feature biasanya ditulis oleh wartawan (jurnalis) untuk disiarkan di media massa kepada para pembaca. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan, feature bisa ditulis oleh penulis lepas (freelance writer).

Feature biasanya ditulis untuk mendukung berita yang lagi hangat, misalnya berita tentang kasus poligami seorang tokoh. Maka wartawan membuat feature yang memuat kisah yang cukup detail tentang poligami yang diilhami oleh orang lain (tokoh lain) sebagai pembanding berita yang lagi hangat tersebut. Sebagai contoh, kita bisa melihat feature di koran Jawa Pos, harian yang terbit di Surabaya. Feature di koran itu biasa dimuat di halaman pertama paling bawah.

Feature adalah salah satu produk wartawan dalam media cetak yang juga termasuk kategori berita. Pakar jurnalistik sering menyebutnya dengan feature news. Karena tergolong berita, feature menyajikan permasalahan yang ada dalam kehidupan masyarakat dengan data-data atau fakta-fakta, memiliki informasi penting dan bermanfaat bagi pembaca.

Bertolak dari beberapa pendapat feature adalah karangan yang menyajikan permasalahan kehidupan yang menarik dari data dan fakta yang akurat dan lengkap, tetapi disajikan secara khas dan santai, serta memberikan hiburan. Penyajian permasalahan dalam feature bersifat tidak formal.

Permasalahan apa yang menarik untuk disajikan dalam feature? Semua permasalahan atau peristiwa yang ada dalam kehidupan, asalkan diperoleh data-datanya boleh disajikan dalam bentuk berita, reportase, dan feature, bahkan juga bisa diangkat menjadi artikel, tajuk rencana, dan kolom. Namun, harus diakui permasalahan yang diangkat menjadi feature harus didasarkan pada permasalahan yang dianggap penting dan memiliki daya tarik untuk diketahui pembaca dan disajikan secara sederhana, khas, ringan, dan menghibur.

Secara fisik, feature hampir sama dengan reportase, terdiri dari judul (head line), kemudian teras (lead), dan tubuh berita (body). Yang membedakan adalah dari pilihan judul, penyajiannya yang lincah, santai, enak dibaca, tidak formal, menghibur.

Dari aspek waktu, feature memiliki kesamaan dengan reportase. Feature tidak terikat pada waktu (timely). Materi feature tidak mengenal permasalahan yang basi, karena feature sangat bergantung pada penyajiannya yang memiliki daya tarik dan menyentuh rasa manusiawi pembacanya. Untuk membuat feature, wartawan memiliki waktu yang cukup panjang dan tidak perlu tergesa-gesa seperti menyusun berita langsung.

Banyak persoalan kehidupan yang ditemui wartawan, namun tidak semua persoalan menarik bagi pembaca. Tetapi, bagi wartawan yang peka, akan menyadari ada sesuatu yang menarik dari persoalan itu. Persoalan itu kurang tepat kalau dijadikan berita atau reportase akan lebih baik dan bermanfaat jika disajikan melalui feature. Ada informasi-informasi berharga untuk disampaikan kepada pembaca. Sebab, wartawan memiliki sudut pandang yang khas yang tak dipunyai orang lain. Itulah yang dinamakan ketajaman naluri kewartawanan. Dan feature menjadi sarana untuk mengasahnya.

Lebih jelasnya, Rahardi (2006: 30) memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara feature dengan berita dan feature dengan artikel. Berita lebih mengutamakan fakta dan data aktual (berdasarkan peristiwa aktual) yang ditulis secara lempang tanpa opini (straight news), dengan opini dari luar si penulis (intepreted news), maupun opini dari penulis (intepretative news). Artikel ditulis berdasarkan data dan fakta (belum tentu peristiwa aktual), diberi analisis dan opini (berupa fakta dan data tandingan) dari penulis. Feature merupakan tulisan berdasarkan data dan fakta peristiwa aktual, tetapi materinya diseleksi dengan lebih menekankan segi human interest.

Pengertian Feature

  1. PENGERTIAN FEATURE

Cerita feature adalah artikel yang kreatif, kadang kadang subyektif, yang terutama dimaksudkan untuk membuat senang dan memberi informasi kepada pembaca tentang suatu kejadian, keadaan atau aspek kehidupan (Wicaksono, 2007). Menurut Santana K. (2005: 11) kisah feature memang orisinal dan bersifat deskriptif. Bisa saja dalam sebuah feature dipenuhi dengan orisinalitas dan deskripsi penulis yang menghibur, dan sedikit informasi. Atau, penulisnya lebih banyak menginformasikan amatanya dengan sedikit menghibur. Tulisan feature yang bagus mengkombinasikan segala aspeknya dengan baik dan proporsional.


Sejarah Feature

LAHIRNYA FEATURE DALAM MEDIA MASSA

Ketika jurnalisme memakai pendekatan sastra, teknik penulisan feature menjadi sarana untuk mengembangkan gaya penulisan berita (news) yang mengupas masalah human interest, dan penulisan opini (views) sebagai sarana untuk memikat pembaca dengan sajian penulisan yang ringan, cair, dan tak sulit dipahami.

Awal mula lahirnya feature dalam suatu harian diperkenalkan oleh Thomas Wolfe. Keinginannya untuk menulis dengan cara yang berbeda yang gagasanya dilatarbelakangi oleh dunia wartawan Amerika tahun 1928-an.

Latar belakang penulian feature lainnya ialah pimpinan seorang mahasiswa jurnalistik yang mempunyai keinginan untuk menulis novel. Pada saat itu Wolfe yang menjadi mahasiswa jurnalistik telah lulus tingkat doctoral (1957) dan mulai bekerja di New York Herald Tribune (1962). Realitas dunia industri AS pada saat itu tidak menjanjikan penyelesaian bagi persoalan-persoalan di masyarakat. Wolfe sebagai inspirator jurnalisme sastra merasa frustasi dengan gaya penulisan lama yang tidak mengakomodasi kemampuannya untuk mempertunjukkan kembali (recreate) atmosfer fakta – liputan.

Ada saatnya suatu berita tidak dapat ditulis dengan fakta liputan yang sebenarnya dikarenakan alasan kode etik jurnalistik. Pada saat itulah dunia sastra berbicara. Namun, kondisi ini telah dipelopori penulisannya oleh Wolfe dalam bentuk jurnalisme sastra. Pemakaian gaya fiksi untuk mengemas laporan jurnalistik memunculkan fenomena baru dalam hal fakta, perubahan definisi, proses pengamatan dan pencariannya. Begitu pula dalam hal kaitan penyajian serta perubahan konversi bentuk dan gaya pengulasan.

Melvin Mencher , 1997 (oleh Ellen Wilson dalam The Purpose Decades: A Reader, 1982) menyebut bentuk penulisan jurnalistik yang memakai gaya fiksi lanjutan dari gaya nonfiksi tahun 1950-an sebagai antisenden bagi kerja jurnalistik. Bentuk tulisannya dinilai memperkenalkan cara penulisan baru.

Penulisan feature menurut Williamson dalam Kurnia (2005:5) nilai berita dalam feature tersebut berita peristiwanya mesti dikreasikan kembali secara subjektif agar enak dibaca dan perlu informasinya tanpa meniadakan akurasi dan verifikasi fakta.

Jadi kemunculan feature dalam suatu harian tidak lepas dari sebuah gaya penulisan yang subyektif. Lebih lanjut disebutkan oleh Kurnia penulis yang amat baik erat dengan idealisme tertentu. Ia mendedikasikan tulisannya untuk melayani pembaca yang memercayainya bahwa ia akan memberikan informasi yang akurat dan lengkap, sembari tetap menghargai pendapat orang lain yang berlainan. Para wartawan penulisan feature mendedikasikan tulisannya dalam bentuk representasi subyektif dari penulisannya.

Dari eksperimentasi sastra kemudian telah dikembangkan penulisan feature menjadi dua klasifikasi, yaitu teknik penulisan berita (news feature) dan teknik penulisan artikel (article feature). Pada saat ini yang dibutuhkan oleh massa adalah gaya penulian fleksibel yang tidak biasa agar bisa menampung segala hal yang dihilangkan dalam straightnews/ pelaporan jurnalistik yang merupakan karnaval pelbagai pikiran dan emosi orang-orang yang pada saat itu diamati.

Dalam jurnalisme sastra telah disebutkan bahwa feature adalah kategori lain penulian koran yang pada saat itu mengedepankan model hard news. Pada tahun 1960-an, kelainan itu mulai didiskusikan kalangan akademisi yang berupaya membakukan tata nilai dalam dunia jurnalisme.

Prof. Georde. A. High (Michigan State University) dalam buku News Writing (1975) telah menyebutkan bahwa feature meningkatkan kualitas pemahaman pembaca pada kealamiahan pelbagai situasi kemanusiaan. Dalam hal ini, penulian menjadi bagian dari sebuah kejadian atau bagian dari sesuatu yang terjadi.

Karakteristik Headline

Karakteristik Headline Jawa Pos Edisi 24 Desember 2007


Di zaman yang serba canggih dan modern seperti sekarang ini, peranan berita menjadi sangat penting bagi masyarakat. Berita berisi tentang fakta atau ide yang terkini, yang dapat menarik perhatian pembaca karena peristiwa luar biasa, penting atau luas akibatnya, memiliki segi human interest, emosi, dan ketegangan (Ermanto, 2005:87). Materi berita yang disajikan dalam berita tersebut merupakan daya tarik yang mampu mengundang keingintahuan pembaca atau masyarakat. Semua itu merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk mengetahui informasi terkini yang terjadi di dunia.

Yanuar Abdullah dalam Ermanto (2005:101) menjelaskan bagian-bagian penting dalam berita, yaitu: (1) judul berita (headline), (2) baris tanggal (dateline), (3) teras berita (lead/intro), dan (4) tubuh berita (body).

Judul berita atau headline merupakan bagian yang penting dalam berita. Kreativitas banyak digali untuk membuat judul yang menarik dan memikat pembaca. Untuk membuat judul yang cocok dan memikat, kata-kata disusun sedemikian rupa, melibatkan wawasan, emosi, dan kecerdikan penulis untuk menarik perhatian pembaca (Kurnia, 2002:206). Meskipun sebuah judul harus mencerminkan isi tulisan, namun kaidah pembuatan judul mempersyaratkan ketentuan judul yang singkat dan padat. Judul tidak harus berupa kalimat lengkap (subjek, predikat, dan objek), tak perlu tegas menyiratkan maksud utama penulis atau tegas menyamarkan makna (mengandung arti ganda).

Menurut Santana K. (2005: 95—17) ada berbagai jenis judul yang biasa digunakan oleh wartawan. Pertama, judul dari titikpandang isi, yaitu judul yang meletakkan sudut pandang dari materi tulisan sebagai daya pengungkap dan penjelas. Tiap katanya memberi tentang apa yang terdapat di dalam keseluruhan tulisan sehingga pembaca bisa memutuskan akan membacanya atau tidak. Kedua, judul how-to, yaitu judul yang menerangkan isi atau maksud tulisan yang disusun dalam keringkasan judul yang spesifik. Ketiga, judul-judul 5W + 1H, yaitu judul-judul yang merujuk pada unsur who, what, when, where, dan why. Keempat, judul superlatif, yaitu judul-judul yang mengilustrasikan keluar-biasaan atau kehebatan dari materi. Kelima, judul bertanya, yaitu judul yang menggunakan tanda tanya yang biasanya menyentak, menggugah. Keenam, judul dari titikpandang bentuk, yaitu judul yang sering dianggap sebagai bentukan utama dari judul tulisan jurnalisme.

Setiap media massa memiliki karakteristik judul yang berbeda dengan media massa yang lain. Pada koran Jawa Pos edisi 24 Desember 2007 juga memiliki karakteristik tersendiri dalam pemilihan judul beritanya.

Tiga Bulan Terjual 40 Ribu Kopi” (hlm. 1), merupakan judul yang masuk dalam kategori judul yang dilihat dari titikpandang isi. Hanya dengan membaca judul tersebut, pembaca dapat langsung menerka isi berita. Judul itu juga dapat mengundang keingintahuan pembaca untuk membaca lebih lanjut. Semua itu dilakukan agar pembaca dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak mereka seputar judul yang telah dibaca. Apa yang terjual 40 ribu kopi? Siapa yang menjual? Untuk apa? Bagaimana caranya? Dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan yang demikian yang ingin dicari jawabannya oleh pembaca sehingga melalui judul tersebut, pembaca ingin membaca isinya. Sebagai langkah awal, berarti judul tersebut telah berhasil memikat pembaca.

Mengutip pendapat Lalengke (2004) yang menyatakan bahwa judul tulisan harus singkat, dengan penekanan lebih pendek lebih bagus. Sebuah judul tulisan tidak perlu panjang-panjang. Tampaknya judul ”Tiga Bulan Terjual 40 Ribu Kopi” juga menganut pendapat tersebut. Pada dasarnya, judul itu merupakan kalimat lengkap yaitu ”(Dalam waktu) tiga bulan, (album Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah) terjual (sebanyak) 40 ribu kopi”. Kata-kata yang dianggap tidak perlu, dikeluarkan satu per satu sehingga dihasilkan judul yang lebih efektif namun tidak mengubah maknanya.

Lebih lanjut Lalengke (2004) juga menyebutkan bahwa penulian judul sebaiknya ditulis dalam bnetuk frase benda, bukan dalam bentuk kalimat. Seperti judul ”Dana Kelola MI Minim Rp 25 M” (hlm. 8). Judul tersebut merupakan kalimat lengkap yaitu ”Dana (untuk) mengelola MI (diperkirakan lebih dari) Rp. 25 milyar”. Kalimat demikian kemudian diolah menjadi judul dalam bentuk frase dengan mengganti ”untuk mengelola” menjadi kata benda ”kelola” dan ”diperkirakan lebih dari” diubah menjadi ”minim” agar memberi kesan yang lebih ekspresif. Judul berita ini termasuk judul yang dilihat dari titikpandang isi.

Target Penuhi Deadline Menkeu” (hlm. 9), judul ini kalimat lengkapnya adalah ”Pihak asuransi memasang target untuk memenuhi batas akhir permintaan Menkeu”. Kalimat tersebut kemudian dipreteli satu-satu sehingga dihasilkan judul yang pas dengan isi tulisan. Membuat judul yang menarik memang tidak mudah, namun masih dapat disiasati. Cara yang dapat ditempuh, penulis/wartawan harus dapat mencari padanan kata yang tepat, seperti ”batas akhir permintaan” diganti dengan kata ”deadline” yang merupakan kata yang lebih singkat dan tentu memiliki prestise yang lebih baik.

Untuk membuat judul yang lebih memikat pembaca, wartawan harus berusaha untuk ”mendandani” judul tulisan agar terlihat dan terdengar ”seksi”, ”menggairahkan”, ”memotivasi”, dan ”menjanjikan”. Salah satu contohnya adalah ”Warga Lamsie Didor” (hlm. 11). Ketika membaca judul tersebut, bayangan yang muncul di benak pembaca adalah perasaan ngeri. Agaknya, wartawan yang menulis berita ini memang ingin menampilkan kesan demikian. Pilihan kata ”didor” memang tepat dibandingkan jika kata itu diganti dengan ”ditembak”. Kata ”didor” lebih memiliki nilai artistik. Judul ”Warga Lamsie Didor” ini termasuk jenis judul 5W+1H yakni tepatnya unsur who, karena judul tersebut merujuk pada nama yang menjadi topik tulisan yaitu warga Lamsie.

Untuk tulisan rubrik olahraga, sering sekali digunakan gaya bahasa personifikasi dan hiperbola. Misalnya ”Melonjak Tajam Berkat DBL” (hlm. 21). Gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi sekaligus hiperbola. Kata ”melonjak” merujuk pada personifikasi, sedangkan ”melonjak tajam” merujuk pada hiperbola karena mengandung gagasan yang terlalu dilebih-lebihkan. Jenis judul ini masuk dalam kategori judul yang dilihat dari titikpandang isi. Judul tersebut mengisyaratkan isi berita tentang DBL yang mampu meningkatkan jumlah SDM wasit di Surabaya.

Dalam Jawa Pos, selain rubrik olahraga, terdapat juga rubrik Metropolis. Untuk rubrik Metropolis ini, judul-judul yang digunakan tidak jauh berbeda dengan judul-judul yang dugunakan pada rubrik utama Jawa Pos. Lihat saja pada judul ”Curi CRV, Tak Bisa Menjual” (hlm. 31). Judul yang digunakan merupakan bentukan dari kalimat ”Mardi Waluyo menuri mobil CRV, namun ia tidak bisa menjual mobil tersebut”. Kalimat yang panjang itu kemudian diubah menjadi judul yang lebih sederhana namun tetap tidak mengubah arti asalnya. Seperti judul-judul yang sebelumnya, judul yang satu ini juga termasuk pada jenis judul yang dilihat dari titikpandang isi.

Dalam rubrik yang sama, judul berita ”Menyeberang, Bocah Tewas Tertabrak” (hlm. 39). Kalimat yang lengkap dari judul tersebut adalah ” Ketika menyeberang jalan, seorang bocah tewas karena tertabrak sepeda motor”. Banyak kata yang dihilangkan agar dihasilkan judul yang lebih memikat. Judul ini termasuk jenis judul yang dilihat dari judul 5W+1H, tepatnya unsur who yaitu bocah, korban yang mengalami kecelakaan.

Jadi, berdasarkan hasil analisis sederhana mengenai judul-judul yang digunakan dalam berita Jawa Pos edisi 24 Desember 2007 di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan karakteristik headline (judul berita). Ada beberapa karakteristik yang diuraikan sebagai berikut.

  1. Judul berita (headline) Jawa Pos edisi 24 Desember 2007 merupakan judul yang menarik dan mampu menggugah keingintahuan pembaca. Hal itu dapat diketahui melalui judul yang singkat, padat, dan pilihan kata yang tepat.

  2. Judul berita (headline) Jawa Pos edisi 24 Desember 2007 lebih banyak menggunakan judul dalam bnetuk frase benda, bukan dalam bentuk kalimat yang panjang dan menjemukan.

  3. Judul berita (headline) Jawa Pos edisi 24 Desember 2007 lebih banyak menggunakan judul yang tergolong jenis judul yang dilihat dari titikpandang isi.


Daftar Rujukan

Ermanto. 2005. Menjadi Wartawan Handal & Profesional: Panduan Praktis & Teoretis. Yogyakarta: Cinta Pena


Kurnia, Septiawan Santana. 2002. Jurnalisme Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama


Lalengke, Wilson. 2004. Tersedia pada http://www.KabarIndonesia.com, diakses 24 November 2007


Santana K., Septiawan. 2005. Menulis Feature. Bandung: Pustaka Bani Quraisy



Selasa, 01 April 2008

Bahasa dan Retorika

Rekonstruksi Bahasa dan Retorika Mahasiswa
Oleh
Rosyidatul Hidayati-PR ‘04

A. Pendahuluan
Bahasa adalah penemuan manusia yang paling menakjubkan: manusia sungguh-sungguh “sapiens” (bijaksana, berbudi) hanya karena ia “loquens (bertutur), yakni karena ia dapat belajar bercakap (Paul Chauchard dalam Baryadi, 2004: 1). Setiap manusia secara fitrah memiliki kemampuan berbahasa. Dengan bahasa, manusia dapat mengekspresikan perasaan dan pikirannya.
Bahasa merupakan media retorika, sedangkan retorika sering digunakan sebagai ilmu berbicara yang diperlukan setiap orang (Rakhmat, 2001: 2). Ketika berbicara di depan umum, mahasiswa juga membutuhkan ilmu retorika untuk menunjang kualitas pembicaraannya. Selain itu, retorika digunakan untuk meyakinkan pendengar akan kebenaran gagasan/topik yang dibicarakan. Namun pada kenyataannya, tidak banyak mahasiswa yang mampu menggunakan retorika dengan baik dan efektif. Oleh karena itu, perlu adanya rekonstruksi bahasa dan retorika yang digunakan mahasiswa dalam berkomunikasi atau berbicara di depan umum. Rekonstruksi tersebut dapat dimulai dari segi penggunaan bahasa yang digunakan dalam berbicara. Kemudian selanjutnya pada ilmu retorika yang harus digunakan, yaitu metode dan etika retorika.
Dengan merekonstruksi bahasa dan retorika, diharapkan kemampuan berbicara mahasiswa akan termasuk dalam kategori “mahasiswa yang berbicara secara intelektual”.

B. Bahasa
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana dalam Aslinda dan Syafyahya, 2007: 1). Manusia dengan segala rutinitas dan aktivitasnya, tidak pernah terlepas dari bahasa, karena bahasa merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan. Dengan bahasa, manusia dapat mengomunikasikan apa yang dipikirkan dan dapat pula mengekspresikan sikap dan perasaanya ( Arsjad, 1991: 11). Hal itu adalah salah satu yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lainnya.
Orang berbahasa karena adanya suatu rangsangan dari lingkungannya yang harus segera direspon melalui bahasa. Hal itu menunjukkan bahwa bahasa merupakan sistem lambang yang digunakan untuk berinteraksi di dalam masyarakat.
Hakikat dan Fungsi Bahasa
Hakikat bahasa menurut Reching Koen (Aslinda dan Syafyahya, 2007: 2) memiliki tiga sifat (a) mengganti, (b) individual, (c) kooperatif, dan (d) sebagai alat komunikasi.
1. Mengganti
Bahasa dapat menggantikan suatu peristiwa yang seharusnya dilakukan oleh individu/ kelompok.
2. Individual
Seorang individu/ kelompok dapat meminta individu/ kelompok lain untuk melakukan suatu pekerjaan. Bahasa yang diucapkan oleh seorang individu kepada individu lain bersifat individual.
3. Kooperatif
Ketika sebuah bahasa telah dilahirkan dalam kalimat yang didengar oleh individu lain untuk melakukan pekerjaan yang diminta, maka kesediaan seorang individu dalam melakukan pekerjaan itu karena adanya unsure kooperatif antar individu.
4. Alat Komunikasi
Bahasa merupakan alat komunikasi.
Fungsi bahasa adalah alasan-alasan seseorang berbicara. Menurut Mar’at (2005: 19) ada dua macam fungsi bahasa yaitu:
1. fungsi bahasa yang bersifat intrapersonal, yaitu penggunaan bahasa untuk memecahkan persoalan, mengambil keputusan, berpikir, mengingat, dan sebagainya,
2. fungsi bahasa yang bersifat interpersonal, yaitu yang menunjukkan adanya suatu pesan atau keinginan penutur.
Bahasa tidak dapat terlepas dari aktivitas sosial. Oleh karena itu, Halliday dalam Santoso (2003: 20-21) mengemukakan ada tiga metafungsi sehubungan dengan penggunaan bahasa di dalam proses sosial di suatu masyarakat. Ketiga metafungsi tersebut ialah:
1. ideasional
yang termasuk di dalam fungsi ini adalah fungsi eksperiensial dan logikal. Fungsi ideasional: eksperiensial merupakan penggunaan bahasa untuk merefleksikan realitas pengalaman pembicaranya;
2. interpersonal
fungsi interpersonal menggambarkan hubungna sosial antar partisipan. Interaksi sosial seperti apa yang sedang berjalan: memberi atau meminta informasi atau memberi atau meminta barang atau jasa;
3. tekstual
fungsi tekstual tergambar melalui makna simbol yang merealisasikan kedua makna sebelumnya: ideasional dan interpersonal.

C. Retorika
Retorika berasal dari bahasa Yunani yaitu rhêtôr, orator, teacher. Secara umum, retorika ialah seni atau teknik persuasi menggunakan media oral atau tertulis (Wikipedia, 1996). Sejalan dengan pengertian tersebut, Aristoteles (Arsjad, 1991: 5) menjelaskan bahwa retorika adalah ilmu yang mengajarkan suatu keterampilan menemukan secara persuatif dan objektif suatu kasus dengan meyakinkan pihak lain akan kebenaran kasus yang dibicarakan. Jadi, tujuan retorika adalah persuasi untuk meyakinkan pendengar akan kebenaran gagasan/ topik yang dibicarakan pembicara sehingga dapat membina saling pengertian yang mengembangkan kerja sama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat melalui kegiatan berbicara.
Jika selama ini, retorika dianggap sebagai ilmu pidato semata, sekarang fungsi retorika telah mengalami perluasan. Retorika merupakan bidang studi komunikasi yang turut mengembangkan ilmu komunikasi (Rakhmat, 2001: 2). Rakhmat menyebut retorika sebagai “ilmu bicara”.
Fungsi retorika menurut Aristoteles (Arsjad, 1991: 5) ada empat fungsi, yaitu:
a. menuntut orang mengambil keputusan dalam menghadapi berbagai kemungkinan memecahkan suatu kasus;
b. membimbing orang memahami kondisi kejiwaan penanggap tutur;
c. memimpin orang menganalisis kasus secara sistematis objektif untuk menemukan secara persuasif yang efektif untuk meyakinkan orang; dan
d. mengajarkan cara-cara yang efektif untuk mempertahankan gagasan.

D. Bahasa dan Retorika dalam Komunikasi Mahasiswa
Pada dasarnya berbicara dan berbahasa tidak membentuk wujud yang berbeda. Keduanya merupakan perbuatan menggunakan bunyi-bunyi bahasa yang terepresentasikan melalui penerjemahan sistem simbol yang bermakna. Hal itu, menunjukkan bahwa bahasa digunakan dalam percakapan karena bahasa merupakan kombinasi kata yang diatur secara sistematis sebagai alat komunikasi (Wibowo, 2003: 3).
Menurut Arsjad (1991: 17) ada beberapa faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan yang harus dikuasai untuk menunjang efektivitas pembicaraan.
1. Faktor Kebahasaan
a. ketepatan ucapan
b. penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai
c. pilihan kata
d. ketepatan sasaran pembicaraan
2. Faktor Nonkebahasaan
a. sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku
b. pandangan harus diluruskan kepada lawan bicara
c. kesediaan menghargai pendapat orang lain
d. gerak-gerik dan mimik yang tepat
e. kenyaringan suara yang sangat menentukan
f. kelancaran
g. relevansi/penalaran
h. penguasaan topik


Di dalam perkuliahan, tidak banyak yang memiliki keterampilan berbahasa maupun beretorika dengan baik dan efektif. Banyak orang yang berdalih bahwa dalam berbicara sudah cukup bila pendengarnya dapat mengerti apa yang dimaksudkannya. Namun mereka belum dapat memastikan kadar kemengertian pembicaraannya. Menurut Supratman (1982: 20) seorang pembicara yang baik, seharusnya menyadari adanya beberapa kemungkinan yang terjadi seperti pendengarnya mengerutkan dahi sebagai tanda bahwa pembicaraannya menyulitkan pendengar dan kurang komunikatif, serta pendengarnya itu gelisah, tidak sabar, dan ingin pembicaraannya segera diakhiri. Pembicara sebaiknya menyadari bahwa pembicaraannya itu mengesankan atau tak berbekas. Pembicara sebaiknya memiliki kadar daya tarik, kadar daya mengasyikkan, dan kadar kesan yang tinggi.
Jadi, terampil berbicara bukan hanya banyak bicara, bukan hanya fasih dan lancar. Terampil berbicara tidak hanya disimak dari validitas secara kuantitatif, tetapi juga harus dapat disimak melalui kadar kualitatifnya. Berbicara yang efektif seyogyanya menyenangkan, memiliki daya tarik, mengasyikkan, ,mengesankan, mencapai tujuan secara jelas serta mengundang rasa simpatik pendengar. Untuk dapat berbicara yang efektif, diperlukan ilmu retorika. Metode yang harus diikuti oleh pembicara agar mendapatkan hasil retorika yang berkualitas menurut Wildensyah (1991) terdapat empat metode sebagai berikut.
1. Exordium (pendahuluan)
Fungsinya pengantar ke arah pokok persoalan yang akan dibahas dan sebagai upaya menyiapkan mental para hadirin (mental prepation) dan membangkitkan perhatian (attention arousing). Berbagai cara dapat ditampilkan untuk memikat perhatian hadirin.
- Mengemukakan kutipan (ayat kitab suci, pendapat ahli kenamaan, dan sebagainya)
- Mengajukan pertanyaan
- Menyajikan ilustrasi yang spesifik
- Memberikan fakta yang mengejutkan
- Menyajikan hal yang bersifat manusia (human interest)
- Mengetengahkan pengalaman yang ganjil
Hal yang perlu dihindari sebagai berikut.
- Permintaan maaf karena kurang persiapan, tidak menguasai materi, tidak pengalaman
- Menyajikan sebuah lelucon yang berlebihan
2. Protesis (latar belakang)
Mengemukakan hakekat pokok persoalan tersebut secara faktual atau secara kesejahteraan nilainya serta fungsinya dalam kehidupan. Jadi pembahasan ini dikemukakan sedemikian rupa sehingga tampak jelas kaitannya dengan kepentingan pendengar.
3. Argumentasi (isi)
Memberikan ulasan-ulasan tentang topik yang akan disajikan secara teoretis, kemudian mengemukakan kekuatan posisinya.
4 Conclusio (kesimpulan)
Suatu penegasan hasil pertimbangan yang mengandung justifikasi atau pembenaran menurut penalaran pembicara. Hal yang perlu dihindari sebagai berikut.
- Mengemukakan fakta baru
- Mengemukakan kata-kata mubazir dan tidak fungsional
Dua persyaratan mutlak bagi orang yang akan muncul sebagai pembicara:
- source credibility atau sumber yang terpercaya (ahli dibidangnya)
- source actractivinees atau daya tarik sumber artinya memiliki penampilan yang meyakinkan untuk tampil sebagai pembicara.
Selain metode yang harus diperhatikan, pembicara juga harus memiliki etika retorika sebagai berikut.
- Memperhatikan kondisi keadaan tertentu, hal ini memerlukan keputusan yang bijaksana, humanistis dan etis sosial
- Memperhatikan standar benar tidaknya ditentukan hukum
- Memperhatikan etika nilai adat istiadat atau tata nilai kesopanan yang berlaku di masyarakat
- Memperhatikan alasan logis atau fakta yang ada
- Memiliki kekuatan dalil atau nash
Selain fenomena banyaknya mahasiswa yang hanya pintar “berdalih” namun tidak memiliki kualitas dan efektivitas pembicaraan seperti yang telah dikemukakan di atas, tidak sedikit pula mahasiswa yang “gagap” berbicara.
Ketika perkuliahan berlangsung, hanya ada segelintir mahasiswa yang turut beropini dalam mengemukakan suatu permasalahan. Sebagian besar mahasiswa merasa “enggan” untuk berbicara. Mereka hanya diam, tidak turut memberikan komentar, sampai pada akhirnya dosen memaksa mereka untuk berbicara. Bentuk pemaksaan tersebut ialah stimulus agar mahasiswa mau berbicara dengan iming-iming nilai.
Jika melihat fakta yang lain, bisa jadi, perasaan “enggan” berbicara tersebut karena adanya faktor ketakutan. Perasaan takut berbicara di depan umum merupakan sesuatu yang wajar. Osborne (1994: 2) mengungkapkan bahwa perasaan takut itu mungkin mencakup:
- rasa takut secara fisik terhadap pendengar,
- rasa takut akan ditertawakan orang,
- rasa takut bahwa diri Anda akan jadi tontonan orang,
- rasa takut bahwa apa yang mungkin akan Anda kemukakan tidak pantas untuk dikemukakan,
- rasa takut bahwa Anda mungkin membosankan para pendengar.
Untuk menanggulangi perasaan takut tersebut, pembicara harus mampu menanamkan sikap percaya diri. Sikap percaya diri dapat dibentuk dengan cara memperluas wilayah kesenangannya. Osborne (1994: 3) menyatakan bahwa suatu sikap menyenangkan dapat dimulai dengan membangun citra diri yang dapat diungkapkan dengan “saya senang berbicara di depan umum”. Kalimat itu dapat diucapkan berulangkali ketika menghadapi situasi yang mengharuskan seseorang untuk berbicara.
Selain itu, untuk menggugah minat agar mahasiswa yang biasanya “diam” di kelas untuk ikut berbicara tanpa dipaksa, ada beberapa hal yang harus dipompakan dalam dirinya. Beberapa hal tersebut ialah unsur ketenangan, semangat, gerak-gerik dan perasaan, serta pemahaman pembicara akan kebenaran isi yang dibicarakan. (Muhadjir, dkk dalam Supratman, 1982: 22).
Ada beberapa kiat yang disampaikan oleh Supratman (1982: 35) yang dapat dijadikan acuan sebagai indikator keberhasilan berbicara.
1. Lafal dan volume suara
- Tidak menggunakan pengaruh lafal asing
- Tiap fonem diucapkan dengan jelas
- Suaranya segar dan menarik serta simpatik
- Gagasan mudah ditangkap
2. Intonasi (tekanan, jeda, dan tempo)
- Penggunaan tekanan, pemberhentian dan tempo dilakukan secara tepat dan menarik sesuai dengan situasi dan kebutuhan pembicaraan
- Komunikasi menyenangkan dan mudah ditanggap
3. Perbendaharaan kata
- Kata-kata digunakan secara tepat, cermat, serta bervariasi, sehingga apa yang dikemukakan cukup menarik dan mudah dipahami
- Daya imajinasi pendengar cukup berkembang
4. Komposisi bentuk bahasa
- Unsur gagasan dituturkan dengan urutan yang logis dan menarik serta bervariasi
5. Pemahaman isi pembicaraan
- Kelancaran pembicaraannya menunjukkan bahwa ia yakin dengan yang dikemukakan
- Variasi pembicaraan orisinal dan kreatif
- Pendengar merasa senang mendapatkan hal-hal yang baru yang dikemukakannya
6. Kelancaran
- Kelancaran pembicaraannya dapat membuat pendengar yakin dengan yang dikemukakannya
7. Sikap berbicara
- Baru berbicara setelah ia mengikuti dengan seksama pembicaraan pendengar
- Ia berpretensi mengemukakan pendapat yang saling menguntungkan
- Ia hati-hati bila akan menyanggah pendapat orang
8. Pretensi pembicaraan
- Ia hanya berbicara mengenai hal-hal yang bermanfaat bagi pendengar
- Gagasannya orisinal dan segar
- Ia menghargai dan jujur bila menggunakan pendapat (mengutip) orang lain

E. Penutup
Jika dalam forum kecil, mahasiswa harus “dipaksa” untuk berbicara, bagaimana jika dalam forum yang besar? Akankah gagasan yang tersimpan dalam memori mereka akan tersalurkan? Hal ini perlu kiranya untuk jadi perenungan bersama.
Perlu dipersiapkan dengan baik dan cermat, bahan-bahan pembicaraan yang tepat, patut dan menarik untuk dibicarakan, yang disusun sedemikian rupa untuk memudahkan mahasiswa berbicara.
Rekonstruksi bahasa dan retorika dapat dimulai dengan penguasaan unsur-unsur kebahasaan dan nonkebahasaan dalam berbicara. Setelah itu, penting juga seorang pembicara menggunakan metode dan etika retorika yang tepat. Dengan demikian, diharapkan akan tercetak generasi mahasiswa yang terampil berbicara secara intelektual.

Daftar Rujukan

Arsjad, Maidar G. dan US, Mukti. 1991. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga

Aslinda, dan Syafyahya, Leni. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bnadung: PT. Refika Aditama

Baryadi, I. Praptomo. 2004. “Berbagai Pandangan Tentang Kompetensi Berbahasa”. Dalam Taum, Yoseph Yapi, dkk (Editor). Bahasa Merajut Sastra Merunut Budaya. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma

Bormann, Ernest G. dan Bormann, Nancy G. 1991. Retorika: Suatu Pendekatan Terpadu. Terjemahan oleh Pulus Sulasdi. Jakarta: Erlangga

Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Refika Aditama

Medan, Tamsin. 1988. Antologi Kebahasaan. Bandung: Angkasa Raya

Osborne, John W. 1994. Kiat Berbicara Di Depan Umum untuk Eksekutif. Terjemahan Walfred Andre. Jakarta: Bumi Aksara

Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial. Surabaya: Pustaka Eureka dan JP Press

Supratman, Dandan. 1982. “ Mengukur Keterampilan Berbicara”. Media: Jurnal Fakultas Keguruan Sastra Seni IKIP Semarang. 16: 13-58

Wibowo, Wahyu. 2003. Manajemen Bahasa: Pengorganisasian Karangan Pragmatik dalam Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa dan Praktisi Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Wikipedia. 1996. Retorika. Tersedia pada http://id.wikipedia.org/wiki/retorika, diakses 3 November 2007

Wildensyah, Iden. 1991. Retorika. Tersedia pada http://penakayu.blogdrive.com/comments?id=91, diakses 3 November 2007

Kamis, 27 Maret 2008

Analisis Soal UAN SMP

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia (Djamarah, 2000: 22). Jadi, bisa dikatakan bahwa meningkatnya kualitas manusia searah dengan perkembangan pendidikan. Namun, dewasa ini perkembangan pendidikan diramaikan dengan maraknya kontroversi diadakannya Ujian Akhir Nasional (UAN). Mengingat, kejadian pada tahun 2006, banyak siswa SMP maupun SMA yang harus mengulang setahun karena gagal menghadapi UAN. Hal itu seperti yang terjadi di Karawang, tercatat sebanyak 12 orang siswa SMK yang mengalami gagal ujian (Gim-Pih, 2007). Pada akhirnya, UAN pada tahun ini tetap dilaksanakan seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2006/2007 pasal 1 yang menegaskan bahwa Ujian Nasional adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Kemudian, pada pasal 3 disebutkan bahwa Ujian Nasional bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran yang ditentukan dari kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan. Tanpa diadakan UAN, maka pencapaian standar nasional tidak akan pernah bisa diketahui. Dengan mengetahui pencapaian standar nasional, maka dapat pula mengetahui peningkatan mutu pendidikan.jadi, mutu pncapaian standar nasional tersebut dapat pula digunakan untuk mengukur salah satu indikator peningkatan mutu pendidikan.
Ada beberapa manfaat yang dapat diambil dengan mengetahui hasil ujian nasional. Hal ini ditekankan pada pasal 4 bahwa hasil UAN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
a. pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan;
b. seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
c. penentuan kelulusan peserta didik dai suatu satuan pendidikan;
d. akreditasi satuan pendidikan;
e. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Hasil UAN dapat digunakan untuk pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan, hasil ujian nasional digunakan sebagai tolok ukur mutu satuan pendidikan. Hasil ujian tersebut dapat dipetakan pada tiap tahunnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dengan jelas naik turunnya kredibilitas dari program pendidikan tersebut. Nilai UAN juga dapat digunakan sebagai persyaratan masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, digunakan untuk seleksi ketat masuk tidaknya peserta didik.
Hasil UAN merupakan salah satu faktor penentu kelulusan peserta didik selain persyaratan kelulusan lainnya seperti nilai rapor. Predikat kelulusan ini dikategorikan mnjadi tiga. Pertama, nilai rata-rata kelulusan (NK) lebih besar atau sama dengan 8,5 memperoleh predikat sangat baik. Kedua, NK lebih besar atau sama dengan 7,5 dan kurang dari 8,5 berpredikat baik. Ketiga, NK kurang dari 7,5 mendapat predikat cukup. NK diperoleh dari total penjumlahan rata-rata nilai rapor semester I-VI, rata-rata nilai ujian sekolah, dan rata-rata nilai ujian nasional dibagi dengan tiga (Gim-Pih, 2007).
Satuan pendidikan dapat memeroleh akreditasi dengan nilai A, B, C, dan seterusnya, jika telah memenuhi persyaratan. Salah satu persyaratan dalam pemberian akreditasi yang baik ialah output yang dihasilkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan itu bagus. Output yang dimaksud adalah nilai ujian nasional satuan pendidikan tersebut memiliki rata-rata nilai yang memenuhi standar. Dengan demikian, pemerintah dapat mmberikan bantuan kepada satuan pendidikan yang telah memenuhi syarat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Mata pelajaran yang diujikan pada UAN untuk SMP, MTs, dan SMPLB meliputi bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika. Menurut pasal 8 ayat 2 UU nomor 45 tahun 2006 tersebut menjelaskan bahwa soal ujian yang diberikan pada UAN 2007 menggunakan standar kompetensi kelulusan irisan (interseksi). Soal-soal diambil dari irisan pokok bahasan kurikulum 1994, standar kompetensi dan kompetensi dasar pada kurikulum 2004, dan standar isi. Nilai rata-rata kelulusan UAN untuk tahun 2007 dinaikkan dari 4,51 menjadi 5,00 dengan ketentuan: peserta dinyatakan lulus jika memperoleh nilai rata-rata minimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 atau memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu meta pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran lainnya minimal 6,00.
Dua alternatif kelulusan tersebut lebih luwes sekaligus menampung berbagai aspirasi yang berkembang. Alternatif lain yang dilakukan untuk mata pelajaran bahasa Indonesia pada tahun 2007 ini ialah soal dibedakan menjadi dua macam. Hal ini merupakan uji coba untuk meminimalisasikan adanya kecurangan-kecurangan yang dillakukan peserta ujian yang biasanya memberikan jawaban kepada teman lainnya. Dua soal ini memiliki bobot soal yang sama, hanya wacana soal yang dibedakan namun deskriptor dan tingkat pencapaian yang digunakan memiliki standar yang sama (data deskriptor terlampir).hal ini juga digunakan untuk menjawab fenomena yang terjadi di masyarakat bahwa soal bahasa Indonesia itu terlalu sulit dengan beban materi yang terlampau banyak.
Untuk membuktikan wacana tersebut, maka penelitian ini akan difokuskan pada analisis soal UAN mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tingkat SMP dilihat dari tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal. Ketiga cara tersebut dapat dijadikan sebagai ukuran untuk mengetahui soal itu baik atau tidak baik (Nugiyantoro, 1995: 131). Dengan demikian, akan didapatkan soal-soal yang baik, kurang baik, dan soal yang jelek, sehingga dapat ditarik kesimpulan tentang wacana yang terjadi di masyarakat. Selain itu, dengan analisis soal melalui ketiga aspek tersebut akan diketahui tingkat kelayakan soal yang merujuk pada validitas dan reliabilitas soal.
Analisis soal ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui butir-butir item yang membangun tes UAN tersebut sudah dapat menjalankan fungsinya sebagai alat pengukur hasil belajar yang memadai atau belum. Identifikasi terhadap setiap butir soal UAN itu dilaksanakan dengan harapan akan menghasilkan berbagai informasi berharga yang dijadikan sebagai umpan balik (feed back) guna melakukan perbaikan, pembenahan, dan penyempurnaan kembali terhadap butir-butir soal yang telah dikeluarkan dalam UAN tahun ini. Sehingga, pada tahun-tahun yang akan datang dapat disusun dengan kualitas yang lebih baik (Sudijono, 2005: 369-370). Oleh karena itu, penelitian ini hanya dibatasi pada analisis soal mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tingkat SMP dilihat dari tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal. Hal ini juga dilatarbelakangi adanya kenyataan bahwa belum ada penelitian sebelumnya yang membahas tentang soal UAN SMP tahun 2007 karena masih tergolong baru.

B. Rumusan Masalah
Sejalan dengan latar belakang di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana analisis soal UAN tingkat SMP mata pelajaran bahasadan sastra Indonesia tahun 2007 pada soal A dilihat dari tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal?
2. Bagaimana analisis soal UAN tingkat SMP mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tahun 2007 pada soal B dilihat dari tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal?
3. Bagaimana perbandingan analisis soal UAN tingkat SMP mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tahun 2007 pada soal A dan soal B dilihat dari tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, tujuan penelitian ini diuraikan sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan analisis soal UAN tingkat SMP mata pelajaran bahasadan sastra Indonesia tahun 2007 pada soal A dilihat dari tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal?
2. Mendeskripsikan analisis soal UAN tingkat SMP mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tahun 2007 pada soal B dilihat dari tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal?
3. Mendeskripsikan perbandingan analisis soal UAN tingkat SMP mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tahun 2007 pada soal A dan soal B dilihat dari tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal?

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini khususnya digunakan untuk perbaikan kualitas soal yang diujikan pada ujian nasional tingkat SMP.
1. Bagi pendidik dan peserta didik
Pendidik/guru dapat memperoleh masukan mengenai butir-butir soal yang baik, dilihat dari tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal. Sehingga, guru dapat melatih peserta didik dengan soal yang memenuhi standar soal yang baik. Hal ini dilakukan sebagai bentuk persiapan agar peserta didik terbiasa menghadapi soal-soal yang setipe dengan soal-soal UAN yang dikeluarkan. Dengan harapan, ketika menghadapi ujian nasional, peserta didik tidak terlalu kesulitan dalam menjawab soal tersebut.
2. Bagi penyusun/perancang soal (tester)
Tester dapat memperoleh masukan berkaitan dengan butir-butir soal yang berkualitas baik dilihat dari tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal. Sehingga, tester dapat menyusun soal yang dapat menjalankan fungsinya sebagai alat pengukur hasil belajar yang memiliki kualitas soal yang baik.

E. Asumsi
Penelitian ini didasari asumsi sebagai berikut.
1. Ujian Nasional merupakan jenis kegiatan yang menarik untuk diteliti, sebab merupakan salah satu syarat kelulusan peserta didik selama bersekolah.
2. Ujian Nasional merupakan bukti pengukuran kemampuan peserta didik yang dilaksanakan tiap tahun sehingga soal-soal UAN harus memiliki standar kualitas soal yang baik.
3. Soal-soal UAN merupakan dokumen rahasia sehingga membutuhkan koordinasi yang baik antar pihak yang terkait terutama dalam pembuatan soal-soalnya.

2. Kajian Pustaka
A. Pengertian Evaluasi Pendidikan
Menurut Davies (Santiung, 2006: 81) evaluasi merupakan proses sederhana memberikan/menetapkan nilai sesuatu tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses orang, dan objek. Sedangkan menurut Ratumanan (2003: 1)Evaluasi dapat dinyatakan sebagai suatu proses sistematik dalam menentukan tingkat pencapaian tujuan instruksional.
Jadi, evaluasi dapat diartikan sebagai suatu proses yang sistematis untuk mengetahui tingkat pencapaian belajar siswa berdasarkan tujuan instruksional yang telah ditetapkan.
Jika evaluasi dikaitkan dengan pendidikan maka evaluasi pendidikan memiliki dua konsep pengertian. Hal ini sejalan dengan pendapat Sudijono (2005: 2) bahwa evaluasi pendidikan adalah:
1. proses/kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah ditentukan;
2. usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed back) bagi penyempurnaan pendidikan.
Kesimpulan yang dapat diambil melalui dua konsep pengertian di atas, evaluasi pendidikan adalah evaluasi yang digunakan untuk menentukan kemajuan pendidikan sekaligus memberikan umpan balik tentang efektivitas pengajaran yang telah dilakukan oleh guru yang bersangkutan.

B. Hubungan antara Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi
Menurut Arikunto (2003: 3) dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, memaparkan tentang perbedaan pengukuran, penilaian, dan evaluasi.
• Pengukuran (measurement) adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Pengukuran bersifat kuantitatif.
• Penilaian (assessment) adalah mengambil suatu kepentingan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk. Penilaian bersifat kualitatif.
• Mengadakan evaluasi berarti meliputi kedua langkah tersebut, yakni mengukur dan menilai.
Jadi bisa dikatakan bahwa evaluasi itu terdiri atas unsur-unsur kualitatif dan kuantitatif yang dipadukan dengan bentuk penilaian yang berupa pertimbangan (value judgment).

C. Tujuan Evaluasi Pendidikan
Secara umum, evaluasi pendidikan memiliki beberapa tujuan. Nurgiyantoro (1995: 15-17) menjelaskan sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan. Tujuan-tujuan itu mulai dari tujuan instruksional khusus sampai dengan tujuan yang dibebankan kepada lembaga (sekolah) yang bersifat umum dan abstrak.
2. Untuk memberikan objektivitas pengamatan terhadap tingkah laku hasil belajar siswa. Kegiatan penilaian dilakukan dengan mencocokkan dan mengggabungkan data-data hasil pengamatan dan pengukuran untuk mendapatkan hasil yang lebih objektif.
3. Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam bidang-bidang atau topik-topik tertentu. Guru akan memperoleh informasi tentang tingkat penguasaan siswa terhadap mata pelajaran yang diberikan oleh guru tersebut.
4. Untuk menentukan layak tidaknya seorang siswa dinaikkan/dinyatakan lulus dari tingkat pendidikan yang ditempuhnya. Pertimbangan tersebut didasarkan pada hasil pengukuran belajar siswa. Hasil yang dicapai siswa harus memenuhi standar minimal yang ditentukan sehingga siswa yang bersangkutan dapat dinyatakan naik kelas/ lulus ujian.
5. Untuk memberikan umpan balik bagi kegiatan belajar mengajar yang dilakukan: hasil penilaian sebagai umpan balik kegiatan mengajar guru yang menyangkut masalah pemilihan metode/strategi mengajar.
Berdasarkan uraian mengenai tujuan evaluasi pendidikan di atas, tujuan utama diadakannya evaluasi pendidikan menurut Daryanto (2005: 11) adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa sehingga dapat diupayakan tindak lanjutnya. Tindak lanjut yang dimaksud dapat berupa:
1. penempatan pada tempat yang tepat,
2. pemberian umpan balik,
3. diagnosis kesulitan belajar siswa, dan
4. penentuan kelulusan.

D. Jenis Evaluasi Pendidikan
Pada umumnya terdapat tiga jenis evaluasi pendidikan.
1. Evaluasi Diagnostik
Tes ini digunakan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan belajar siswa, sehingga dapat diusahakan untuk perbaikannya. Sejalan dengan itu, Arikunto (2003: 34) mengemukakan bahwa evaluasi diagnostik digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilakukan pemberian perlakuan yang tepat. Berikut letak evaluasi diagnostik!




Evaluasi diagnostik ke-1 dilakukan terhadap calon siswa sebagai input, untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa tersebut terhadap pengetahuan dasar untuk menerima pengetahuan selanjutnya. Evaluasi jenis ini disebut dengan tes penjajakan masuk (entering behavior test) atau tes prasyarat (pre-requisite test).
Evaluasi diagnostik ke-2 dilakukan terhadap calon siswa yang sudah akan mulai mengikuti program. Pada tahap ini, evaluasi diagnostik berfungsi sebagai tes penempatan (placement test). Hal ini dilakukan untuk menempatkan siswa pada kelompok yang sesuai dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki itu.
Evaluasi diagnostik ke-3 dilakukan terhadap siswa yang sedang belajar untuk mengetahui bagian/bahan yang belum dikuasai oleh siswa sehingga dapat melakukan perbaikan.
Evaluasi ini dapat diberikan setelah disajikan tes formatif untuk mengetahui bahan pelajaran tertentu yang belum dikuasai oleh siswa. Setelah diketahui bagian yang belum dikuasai siswa, dapat dibuat butir-butir soal yang lebih memusatkan pada bagian itu, sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi bagian-bagian dari pokok bahasan yang belum dipahami dengan baik. Soal yang dibuat dalam evaluasi ini tingkat kesulitannya relatif rendah agar dapat diperoleh informasi tentang unit tertentu yang belum dikuasai sehingga soalnya tidak dapat dijawab meskipun soal-soal itu umumnya mudah (Daryanto, 2005:13).
Evaluasi diagnostik ke-4 dilakukan pada waktu siswa akan mengakhiri pelajaran untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap bahan yang telah diberikan.
Pada evaluasi ini akan diketahui siswa yang dapat mengikuti program pengayaan dan siswa yang harus mengikuti program perbaikan (remidi). Program pengayaan diberikan pada siswa yang telah mencapai hasil belajar seperti yang sudah ditargetkan. Sedangkan program remidi digunakan untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar. Dengan tujuan, siswa tersebut dapat mencapai hasil maksimal setelah mengalami serangkaian program belajar. Jadi, program remidi tidak semata-mata untuk memperbaiki nilai tapi lebih untuk meningkatkan pemahaman.
2. Evaluasi Formatif
Menurut Cangelosi (Ratumanan, 2003: 3) evaluasi formatif merupakan penilaian tentang prestasi siswa yang mempengaruhi rencana pembelajaran. Johnson & Johnson (Ratumanan, 2003: 3) menegaskan bahwa evaluasi formatif merupakan bagian integral dari proses pembelajaran yang terus-menerus, dengan dua pertimbangan, yakni:
a. memberikan siswa umpan balik pada guru mengenai kemajuan mereka ke arah pencapaian tujuan belajar mereka,
b. memberikan umpan balik pada guru mengenai kemajuan mereka dalam mengembangkan pembelajaran yang efektif.
Woolfolk memberikan batasan bahwa evaluasi formatif itu dilakukan sebelum atau selama program pembelajaran dilakukan (Ratumanan, 2003: 3). Berarti evaluasi formatif diberikan bergantung pada setiap pokok bahasan. Hal itu perlu dilakukan untuk mengetahui pencapaian tujuan-tujuan instruksional yamg telah ditetapkan. Evaluasi formatif bisa terjadi lebih dari 3X selama satu semester karena digunakan setiap ketuntasan Kompetensi Dasar. Dengan demikian, diharapkan guru dapat memantau kemajuan belajar siswa demi memberikan umpan balik antara guru dan siswa.
Siswa dapat mengetahui bagian bahan pelajaran yang masih belum dikuasainya agar dapat mengupayakan perbaikannya. Sedangkan guru dapat melihat bagian yang belum dipahami siswa sehingga dapat mengupayakan penjelasan yang lebih baik dan luas agar bahan tersebut dapat dikuasai siswa (Daryanto, 2005: 12-13).
Evaluasi formatif mempunyai manfaat baik bagi siswa, guru, maupun program itu sendiri (Arikunto, 2003: 36-38).
Manfaat bagi siswa:
a. digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap bahan program secara menyeluruh,
b. digunakan sebagai penguatan bagi siswa. Tanda keberhasilan suatu pelajaran akan menambah motivasi siswa untuk belajar lebih giat agar dapat mempertahankan nilai yang sudah baik dan memperoleh nilai yang lebih baik untuk tes selanjutnya,
c. digunakan sebagai usaha perbaikan. Siswa dapat termotivasi untuk meningkatkan penguasaan terhadap bagian/bahan yang masih terdapat beberapa kelemahan,
d. digunakan sebagai diagnosis. Dengan mengetahui hasil tes formatif, siswa dengan jelas dapat mengetahui bagian dari bahan pelajaran yang masih dirasakan sulit.
Manfaat bagi guru:
a. mengetahui tingkat keberhasilan terhadap bahan yang diajarkan,
b. mengetahui bagian-bagian dari bahan pelajaran yang belum menjadi milik siswa,
c.dapat meramalkan sukses tidaknya seluruh program yang akan diberikan.
Manfaat bagi program:
Manfaat bagi program ini dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
a. apakah program yang telah diberikan merupakan program yang tepat dalam arti sesuai dengan kecakapan anak?
b. apakah program tersebut membutuhkan pengetahuan-pengetahuan persyaratan yang belum diperhitungkan?
c. apakah diperlukan alat, sarana, dan prasarana untuk mempertinggi hasil yang dicapai?
d. apakah metode, pendekatan, dan alat evaluasi yang digunakan sudah tepat?
3. Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif merupakan evaluasi yang dilakukan pada akhir unit program, yakni pada akhir catur wulan, semester, atau akhir tahun dengan tujuan mengetahui pencapaian tujuan-tujuan kurikuler yang telah dicapai siswa (Ratumanan, 2003: 4).
Evaluasi ini merupakan penentu kelulusan dan atau pemberian sertifikat bagi yang berhasil menyelesaikan pelajaran dengan baik. Dalam hal ini, penilaian nasional dapat dimasukkan dalam evaluasi sumatif. Penilaian nasional yang dimaksud adalah Ujian Akhir Nasional yang diterapkan di sekolah-sekolah secara nasional untuk memperoleh pengakuan dan sertifikat di tingkat nasional. Karena itu, digunakan tes terstandar dalam UAN.
Dengan adanya pengakuan, menjadikan semua siswa yang telah memperoleh sertifikat pada jenjang pendidikan tertentu secara nasional berhak melanjutkan pendidikan dan mengikuti seleksi masuk di sekolah di manapun di Indonesia (Depdiknas, 2003: 16-17). Selain itu, sertifikat tersebut bisa juga digunakan untuk mencari pekerjaan.
Evaluasi sumatif memiliki beberapa manfaat (Arikunto, 2003: 39-40), manfaat tersebut ialah:
a. untuk menentukan nilai. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kedudukan siswa,
b. untuk menentukan seorang anak dapat atau tidak mengikuti kelompok dalam menerima program berikutnya. Siswa-siswa yang tidak mampu mengikuti program di kelas berikutnya dapat tinggal kelas,
c. untuk mengisi catatan kemajuan belajar siswa yang akan berguna bagi:
1) orang tua siswa
2) pihak bimbingan dan penyuluhan di sekolah
3) pihak-pihak lain apabila siswa tersebut akan pindah ke sekolah lain, akan melanjutkan belajar, atau akan memasuki lapangan kerja.

E. Alat Evaluasi
Alat evaluasi merupakan sesuatu yang dapat digunakan untuk mempermudah seseorang dalam melaksanakan tugas atau mencapai tujuan evaluasi secara lebih efektif dan efisien ( Nurgiyantoro, 1995: 25-26 ). Alat evaluasi terdiri atas dua teknik, yaitu teknik nontes dan teknik tes. Dalam kaitanya dengan UAN maka alat evaluasi yang dimaksud adalah tes.
1. Teknik Tes
Tes ialah alat ukur/sejumlah tugas yang harus dikerjakan orang yang dites (testee) yang akan diukur aspek-aspek kepribadiannya yang dianggap dapat mencerminkan hasil belajar. Jadi, teknik tes merupakan suatu bentuk pemberian tugas atau pertanyaan yang harus dikerjakan oleh siswa yang sedang dites.
Menurut Nurgiyantoro (1995: 60-64) tes ditinjau dari penyusunannya, dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Tes buatan guru
Tes buatan guru adalah tes yang dibuat oleh guru kelas itu sendiri untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan setelah berlangsungnya proses pengajaran yang dikelola oleh guru kelas yang bersangkutan.
Tes buatan guru digunakan untuk:
1) mengetahui kadar pencapaian tujuan,
2) mengetahui tingkat penguasaan bahan siswa,
3) memberikan nilai kepada siswa sebagai laporan hasil belajar di sekolah.
b. Tes standar
Standar diartikan sebagai suatu tingkat kemampuan tertentu yang harus dimiliki siswa pada progam-progam tertentu. Penulisan tes standar biasanya dilakukan oleh sebuah tim yang sengaja dibentuk dengan bahan yang didasarkan pada kurikulum atau buku-buku teks yang dipakai secara nasional.
Tes standar bersifat seragam dan dipergunakan di semua sekolah, jadi bersifat nasional. Soal UAN adalah satu contoh tes standar yang digunakan untuk:
1) melengkapi informasi tertentu tentang tingkat hasil belajar siswa,
2) melihat hasil tes standar yang dapat dipergunakan untuk membuat perbandingan tentang prestasi yang dicapai siswa antarsekolah, baik dalam matapelajaran yang sama maupun antarmateri pelajaran.
Dengan melihat hasil itu akan diketahui, sekolah yang tergolong berprestasi/tidak sehingga dapat mendorong adanya persaingan yang sehat, baik antarsekolah, antarindividu, maupun antarkelas dalam satu sekolah.
2. Bentuk Tes
Tes memiliki dua bentuk, yaitu tes subjektif dan tes objektif. Tes subjektif tidak dibicarakan dalam hal ini karena soal UAN termasuk dalam tes objektif yaitu bentuk tes pilihan ganda.
Tes objektif menuntut siswa hanya memberikan jawaban singkat yaitu dengan memilih kode-kode tertentu yang mewakili alternatif-alternatif jawaban yang telah disediakan. Dalam hal ini, tes objektif yang dimaksud adalah soal pilihan ganda.


 Tes Pilihan Ganda
Tes pilihan ganda terdiri atas sebuah pernyataan atau kalimat yang belum lengkap yang kemudian diikuti oleh sejumlah pernyataan atau bentuk yang dapat untuk melengkapinya. Dalam soal UAN SMP, alternatif jawaban yang disediakan adalah 4 buah.
Soal UAN menggunakan tes pilihan ganda karena tes jenis ini memiliki beberapa kelebihan (Nurgiyantoro, 1995: 76-77), yaitu:
a. tes pilihan ganda hanya memungkinkan adanya satu jawaban yang benar,
b. tes pilihan ganda memungkinkan kita untuk mengambil bahan yang akan diteskan secara lebih menyeluruh daripada tes esai,
c. tes pilihan ganda memudahkan pengoreksian.
Selain memiliki kelebihan, tes jenis ini sebenarnya juga memiliki kelemahan (Nurgiyantoro, 1995: 77-78), yaitu:
a. penyusun tes pilihan ganda membutuhkan waktu yang relatif lebih lama, ketelitian, kecermatan, dan kemampuan khusus dari pihak pembuat soal,
b. pihak siswa yang mengerjakan tes mungkin melakukan hal-hal yang bersifat untung-untungan,
c. tes pilihan ganda yang ada dalam soal UAN merupakan soal yang panjang sehingga membutuhkan biaya yang besar dalam pengadaannya.
Untuk menanggulangi kelemahan-kelemahan itu, Nurgiyantoro (1995: 86-88) memberikan saran dalam penyusunan tes pilihan ganda. Saran tersebut ialah:
1) pernyataan pokok hendaknya hanya berisi satu permasalahan,
2) tiap satu butir soal hanya ada satu alternatif jawaban yang paling tepat,
3) semua alternatif jawaban yang disediakan harus mempunyai hubungan gramatikal yang benar,
4) panjang tiap option hendaknya kurang lebih sama,
5) menghindari pemberitahuan jawaban yang benar secara tidak langsung yang mungkin terlihat pada butir-butir soal berikutnya,
6) jumlah jawaban benar untuk masing-masing option hendaknya kurang lebih sama.
Penentuan skor (Nurgiyantoro, 1995: 88)
Rumus yang dapat digunakan dalam menentukan skor adalah
S =
S = Skor
R = Right
W = Wrong
n = Jumlah alternatif jawaban

F. Kriteria Soal yang Baik
Menurut Arikunto (2003: 57-63) soal dapat dikatakan baik harus memenuhi kriteria berikut ini.
1. Validitas
Suatu tes disebut valid apabila tes tersebut mampu mengukur yang hendak diukur dengan tepat. Jadi, kevalidan soal bergantung pada ketepatan alat evaluasi dalam melaksanakan fungsinya.
2. Reliabilitas
Reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai orang yang sama ketika mereka diuji ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir ekuivalen yang berbeda, atau pada kondisi pengujian yang berbeda (Anastasi & Urbina dalam Ratumanan, 2003: 28).
3. Objektivitas
Objektivitas menekankan ketetapan pada skoring
4. Kepraktisan
Tes yang praktis adalah:
a. tes yang mudah dilaksanakan,
b. tes yang mudah pemeriksaannya,
c. tes yang dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas.
5. Ekonomis
Pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama.

G. Analisis Butir Soal
Analisis soal (term analysis) merupakan salah satu cara untuk menilai tes. Daryanto (2005: 177) berpendapat bahwa analisis soal adalah suatu prosedur yang sistematis, yang akan memberikan informasi-informasi yang sangat khusus terhadap butir tes yang kita susun. Tuckman (dalam Nurgiyantoro, 1995: 136) menegaskan bahwa analisis butir soal merupakan analisis hubungan antara skor-skor butir soal dengan skor keseluruhan, membandingkan jawaban siswa terhadap suatu butir soal dengan jawaban terhadap keseluruhan tes.
Analisis soal terutama dapat dilakukan untuk tes objektif, maka dalam kasus ini tes pilihan ganda pada soal-soal UAN SMP tahun 2007 dapat dianalisis dengan cara ini. Manfaat analisis soal adalah:
1. mambantu dalam mengidentifikasi butir-butir soal yang jelek,
2. memperoleh informasi yang tepat digunakan untuk menyempurnakan soal-soal untuk kepentingan selanjutnya,
3. memperoleh gambaran secara selintas tentang keadaan soal yang disusun.
Jadi, analisis soal itu bertujuan untuk mengidentifikasi soal-soal yang baik, kurang baik, dan soal yang jelek. Dengan demikian, dapat memperoleh informasi tentang kejelekan sebuah soal dan ”petunjuk” untuk mengadakan perbaikan (Arikunto, 2003: 207).
Penganalisisan terhadap butir-butir soal tes hasil belajar dapat dilakukan dari tiga segi, yaitu:
1. Teknik Analisis Tingkat Kesulitan Tiap Butir Soal
Tingkat kesulitan (item difficulty) adalah pernyataan tentang seberapa mudah atau sulit butir soal bagi siswa yang dikenai pengukuran (Oller dalam Nurgiyantoro, 1995: 138). Butir soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar, dengan kata lain tingkat kesulitan item adalah sedang atau cukup.
Menurut Witherington (Sudijono, 2005: 371) angka indeks kesulitan item itu besarnya berkisar antara 0,00 sampai dengan 1,00. Indeks 0,00 (P=0,00) berarti butir soal tersebut termasuk dalam kategori item yang terlalu sulit, sebab testee tidak dapat menjawab item yang betul. Sebaliknya, indeks 1,00 berarti butir soal tersebut sangat mudah karena semua siswa dapat menjawab dengan betul. Robert L. Thorndike dan Elizabeth Hagen (dalam Sudijono, 2006: 372) memberikan penafsiran terhadap angka indeks kesulitan item sebagai berikut.
Tabel 1: Penafsiran angka indeks kesulitan item
Besarnya P Interpretasi
Kurang dari 0,3 Terlalu sukar
0,3-0,7 Cukup (sedang)
Lebih dari 0,7 Terlalu Mudah
Rumus yang dapat digunakan untuk menghitung indeks kesulitan item (Dubois dalam Sudijono, 2005: 371-371)
P =
P: Proporsi: angka indeks kesulitan item
B: Banyaknya testee yang dapat menjawab betul
JS: Jumlah testee yang mengikuti tes hasil belajar
Soal UAN SMP tahun 2007 baik soal yang tipe A maupun B dianalisis untuk mengetahui tingkat kesulitan soal, setelah itu, tindak lanjut yang pelu dilakukan oleh tester untuk memperbaiki soal tersebut menurut Sudijono (2005: 376-377) adalah:
1. untuk butir-butir soal yang berdasarkan hasil analisis termasuk ke dalam kategori baik, hendaknya butir-butir soal tersebut segera dicatat dalam buku bank soal sehingga soal UAN tersebut dapat dikeluarkan pada UAN tahun-tahun berikutnya,
2. untuk butir-butir soal yang termasuk kategori terlalu sulit, ada tiga hal yang dapat dilakukan:
a. butir item tersebut dibuang dan tidak akan dikeluarkan dalam tes UAN selanjutnya;
b. diteliti ulang, dilacak, dan ditelusuri sehingga dapat diketahui faktor yang menyebabkan butir soal tersebut sulit untuk dijawab. Mungkin kalimat solanya yang kurang jelas, petunjuk mengerjakan soal yang sulit dipahami, atau terdapat istilah-istilah yang kurang jelas dalam soal tersebut, dan sebagainya;
c. butir-butir soal yang terlalu sulit masih dapat digunakan dalam tes-tes seleksi yang sifatnya sangat ketat,
3. untuk butir-butir soal yang termasuk kategori terlalu mudah
a. butir soal tersebut dibuang dan tidak akan dikeluarkan dalam tes UAN berikutnya;
b. diteliti ulang, dilacak, dan ditelusuri sehingga dapat diketahui faktor yang menyebabkan butir soal tersebut mudah untuk dijawab. Mungkin alternatif jawaban yang dipasang ”terlalu kentara” atau ”terlalu mudah” diketahui oleh testee, maka tester harus memperbaiki option tersebut sehingga kunci jawaban dengan pengecoh sulit dibedakan oleh testee;
c. butir-butir soal yang terlalu mudah dapat dimanfaatkan pada tes seleksi yang sifatnya longgar (sebagai formalitas semata).
2. Teknik Analisis Daya Pembeda Tiap Butir Soal
Daya pembeda adalah kemampuan suatu butir soal dalam membedakan antara siswa kelompok tinggi (siswa pandai) dan siswa kelompok rendah (siswa bodoh) (Nurgiyantoro, 1995: 140). Tujuan mengetahui daya pembeda sebagai pegangan untuk menyusun butir-butir soal yang disesuaikan dengan kemampuan testee yang berbeda-beda.
Daya pembeda dapat diketahui dengan melihat besar kecilnya angka indeks diskriminasi (D). Angka indeks diskriminasi adalah sebuah angka atau bilangan yang menunjukkan besar kecilnya daya pembeda yang dimiliki oleh tiap butir soal (Sudijono, 2006: 387).
Besar indeks diskriminasi berkisar antara -1,00 sampai dengan 1,00. Indeks yang semakin besar atau mendekati 1,00 berarti butir soal yang bersangkutan semakin baik sebab semakin nyata perbedaan antara kelompok tinggi dan rendah. Indeks menunjukkan negatif berarti siswa kelompok rendah menjawab dengan betul lebih banyak daripada kelompok tinggi.
Bila angka indeks diskriminasi menunjukkan 0,00 (nihil) berarti butir soal yang bersangkutan tidak memiliki daya pembeda sama sekali (jumlah testee kelompok tinggi yang jawabannya betul/ salah sama dengan jawaban jumlah testee kelompok rendah).
Sudijono (2006: 389) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Evaluasi Pendidikan menunjukkan diagram daya pembeda yang tampak berikut ini.
Tabel 2: Interpretasi Indeks Diskriminasi Item
Indeks Diskriminasi Item (D) Klasifikasi Interpretasi
Kurang dari 0,20 Poor Daya pembeda lemah sekali (jelek), dianggap tidak memiliki daya pembeda yang baik
0,20-0,40 Satisfactory Daya pembeda cukup (sedang)
0,40-0,70 Good Daya pembeda baik
0,70-1,00 Excellent Daya pembeda baik sekali
Bertanda negatif - Daya pembeda negatif (jelek sekali)
Rumus yang dapat digunakan untuk mengetahui besar kecilnya angka indeks diskriminasi
Ø =

Ø = Angka Indeks Korelasi Phi, yang dalam hal ini dianggap sebagai angka indeks diskriminasi item
= Proportion of the higher group
= Proportion of the lower group
2 = Bilangan konstan
p = Proporsi seluruh testee yang jawabannya betul
q = Proporsi seluruh testee yang jawabannya salah, dengan q: (1-p)
Sudijono (2006: 408-409) mengemukakan beberapa hal sebagai tindak lanjut atas hasil penganalisisan daya pembeda, dalam hal ini dikhususkan pada soal UAN tahun 2007 yaitu:
a. butir-butir soal yang sudah memiliki daya pembeda soal yang baik, hendaknya dimasukkan dalam bank soal sehingga dapat dikeluarkan pada saat UAN yang akan datang,
b. butir-butir soal yang daya pembedanya masih rendah, ada dua hal yang dapat dilakukan;
1) ditelusuri dan diperbaiki sehingga dapat digunakan untuk UAN yang akan datang;
2) dibuang dan tidak akan dikeluarkan lagi
c. butir-butir soal yang bertanda negatif tidak perlu dikeluarkan pada UAN berikutnya.
3. Teknik Analisis Pengecoh Tiap Butir Soal
Dalam soal UAN SMA tahun 2007 terdapat empat alternatif jawaban (option), salah satu diantaranya merupakan kunci jawaban betul, sedangkan tiga jawaban lainnya merupakan jawaban yang salah. jawaban-jawaban yang salah itu disebut dengan pengecoh (distraktor).
Tujuan utama pemasangan distraktor, agar dari sekian banyak testee yang mengikuti UAN ada yang tertarik untuk memilihnya, sebab mereka menyangka bahwa distraktor tersebut telah berfungsi dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, jika distraktor yang dipasang tidak ada yang memilih, berarti distraktor tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Distraktor dinyatakan telah menjalankan fungsinya dengan baik apabila distraktor tersebut sekurang-kurangnya sudah dipilih oleh 5 % dari seluruh peserta tes. Misal, peserta UAN di suatu sekolah adalah 100 orang, maka 5 orang itu sudah terkecoh untuk memilih distraktor tersebut.
Sebagai tindak lanjut atas hasil penganalisisan terhadap fungsi distraktor tersebut, distraktor yang sudah dapat menjalankan fungsinya dengan baik dapat digunakan pada UAN selanjutnya, sedangkan distraktor yang belum dapat berfungsi dengan baik, diperbaiki atau diganti dengan distraktor yang lain.
H. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang serupa pernah dilakukan oleh Supangat dengan judul skripsi “Analisisis Soal Ebatanas Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Tingkat SMU Tahun 2001”. Hasil penelitian ini memberikan deskripsi tentang kelayakan soal Ebtanas Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Tingkat SMU Tahun 2001 dilihat dari tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal. Kelebihan penelitian ini adalah penghitungan statistic yang sangat cermat sehingga diperoleh hasil yang akurat. Namun, penelitian ini seolah-olah berhenti pada angka-angka, tidak ada tindak lanjut pada soal-soal yang tidak memenuhi standar kelayakan soal yang baik dilihat dari tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal.
Penelitian yang kedua dilakukan oleh Nuryati dengan judul ”Analisis Soal Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas II Cawu II SMUN I Kalitidu Tahun Pelajaran 2000/2001. Hasil penelitian selain mendeskripsikan tentang analisis soal dilihat dari tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal juga mendeskripsikan validitas dan reliabilitas soal. Namun, cakupan analisis yang dilakukan manfaatnya hanya berlaku pada kalangan tertentu, bahkan mungkin hasil analisisnya hanya bermanfaat untuk sekolah yang bersangkutan. Hal itu terjadi karena fokus penelitian yang dilakukan Nuryati ini hanya terbatas pada ulangan cawu yang sekarang sudah tidak diadakan lagi, namun telah berganti menjadi ujian akhir semester. Fokus penelitian tersebut tidak terlalu menarik, beda jika penelitian tersebut dilakukan pada soal UAN yang merupakan soal berskala nasional.
Mengingat belum ada yang meneliti soal UAN tingkat SMP, maka pada penelitian kali ini, dengan bidang penelitian yang sama yaitu analisis soal, penelitian ini akan mencoba melukakan analisis pada soal-soal UAN SMP tahun 2007 Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang terdiri atas dua soal yaitu soal A dan soal B. penelitian ini lebih ditekankan pada perbandingan tingkat kelayakan antara soal A dan soal B dilihat dari tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal sehingga akan didapatkan identifikasi soal yang baik, kurang baik, dan soal yang jelek. Penelitian kali ini tidak hanya berhenti pada hasil angka-angka namun akan ada tindak lanjut yang lebih berarti berkaitan dengan layak tidaknya tiap butir soal. Dengan demikian, hasil analisis ini dapat digunakan untuk memberi masukan yang berarti dalam penyusunan soal.

3. Metode Penelitian
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian yang berjudul “Perbandingan Analisis Soal UAN tingkat SMP Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 2007 pada Soal A dan Soal B” ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif karena menunjukkan adanya deskripsi terhadap fenomena tentang kelayakan soal UAN tingkat SMP baik pada soal A mupun soal B yang dapat dibuktikan melalui penghitungan angka-angka. Pengukuran tersebut digunakan untuk menganalisis tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal UAN mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tingkat SMP tahun 2007 pada soal A dan soal B. Dengan penghitungan tersebut dapat diketahui perbandingan tingkat kelayakan antara soal A dan soal B tersebut. Untuk pengukuran tersebut menggunakan soal secara statistik untuk memperoleh hasil yang akurat.

B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan diadakan di SMP N 1 Dukun Gresik sebagai tempat uji coba soal UAN mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tingkat SMP tahun 2007 untuk soal A dan soal B yang akan diujikan pada Nopember 2007. SMP ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki kekhasan yaitu jumlah siswa tidak lebih dari 30 siswa per kelas. Selain itu, sekolah ini juga dijadwalkan sebagai sekolah rintisan standar internasional. Hal itu menandakan bahwa sekolah ini memiliki standar mutu yang baik sehingga dipercaya pemerintah untuk menjadi sekolah rintisan, meskipun lokasi sekolah ini berada di desa bukan sekolah yang berada di kota.



C. Sasaran Penelitian
Sasaran yang dijadikan penelitian ini adalah seluruh siswa SMP N 1 Dukun kelas IX yang terdiri atas tiga kelas. Siswa-siswa ini merupakan objek yang dijadikan uji coba soal UAN tingkat SMP mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada soal A dan soal B. Berdasarkan hasil uji coba tersebut dapat ditentukan kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah. Maka untuk penelitian yang digunakan adalah kelompok tinggi dan kelompok rendah karena kelompok sedang tidak memberikan pengaruh terhadap penghitungan analisis soal.
Hasil perbandingan pada kelompok tinggi: kelompok sedang: kelompok rendah adalah 30: 40: 30, maka yang digunakan dalam analisis adalah 30% untuk kelompok tinggi dan 30% untuk kelompok rendah dari jumlah keseluruhan peserta uji coba soal.

D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian digunakan untuk membantu mengumpulkan data. Instrumen penelitian ini menggunakan kartu data yang berisi jumlah pilihan kelompok tinggi dan kelompok rendah terhadap 50 butir soal sebagai alat untuk mengetahui tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal dalam soal UAN mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tingkat SMP tahun 2007 pada soal A dan soal B. Bentuk kartu data terlampir.

E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk memperoleh data adalah teknik studi dokumenter. Studi dokumenter (documentary study) merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen (Sukmadinata, 2005: 221). Studi dokumenter yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil analisis soal UAN tingkat SMP mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 2007 pada soal A dan soal B yang kemudian dibandingkan kelayakan soal di antara keduanya.
Prosedur penelitian yang akan dilakukan untuk mengumpulkan data meliputi beberapa langkah yang harus dilakukan yaitu:
a. meminta soal UAN mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tingkat SMP tahun 2007 yang terdiri atas dua soal yakni soal A dan soal B kepada kepal sekolah/ guru bahasa Indonesia SMP N 1 Dukun-Gresik,
b. mengadakan uji coba soal UAN mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kepada siswa SMP N 1 Dukun-Gresik yang akan dilaksanakan pada bulan Nopember tahun 2007 oleh 40 seluruh siswa kelas IX,
c. mengumpulkan lembar jawaban peserta uji coba soal,
d. meminta hasil penilaian uji coba untuk memudahkan penghitungan,
e. mengadakan penelitian terhadap hasil uji coba soal pada tiap butir soal, untuk jawaban betul skor tiap butir soal dihitung satu sedangkan untuk jawaban salah dihitung nol,
f. menggunakan intrumen penelitian yang berupa kartu data. Kartu data tersebut berisi jumlah pilihan kelompok tinggi dan kelompok rendah terhadap 50 butir soal sebagai alat untuk mengetahui tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal.

F. Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan teknik analisis statistik. Teknik ni digunakan untuk mendeskripsikan angka-angka dalam penghitungan tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal dalam soal-soal UAN mata pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia tingkat SMP tahun 2007 pada soal A dan soal B.
Prosedur analisis data yang akan dilakukan adalah:
a. mengurutkan skor pada lembar jawaban siswa, mulai dari skor yang tertinggi sampai dengan skor yang terendah,
b. menggolongkan siswa berdasarkan skor yang diperoleh menjadi kelompok tinggi (skor tertinggi), kelompok rendah (skor terendah), dan kelompok tengah. Dari hasil penggolongan tersebut diambil sampel sebesar 30% jumlah siswa yang memiliki skor tertinggi dan 30% untuk skor terendah. Sedangkan untuk kelompok tengah tidak digunakan sebagai sampel karena tidak berpengaruh pada penghitungan tingkat kesulitan , daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal,
c. menganalisis jawaban siswa untuk mengetahui kesulitan , daya pembeda, dan efektivitas pengecoh tiap butir soal pada soal A dan soal B,
d. membuat perbandingan standar kelayakan terhadap hasil analisis antara soal A dan soal B,
e. membuat simpulan terhadap hasil perbandingan tersebut.
Tabel 3: Penentuan Skor
Testee Skor untuk tiap butir soal Skor total Kelompok
1 2 3 4 5 6 …. 50
A 0 1 1 0 2 rendah
B

Dari tabel di atas dapat diketahui tingkat kesulitan (P), daya pembeda (D), dan efektivitas pengecoh dengan penghitungan sebagai berikut:
a. menghitung tingkat kesulitan tiap butir soal
P=
P = angka indeks kesulitan item
B = banyaknya testee yang dapat menjawab betul
JS = jumlah testee yang mengikuti tes hasil belajar
b. menghitung daya pembeda tiap butir soal
Ø=
Ø = Angka indeks diskriminasi item
= Proportion of the higher group
= Proportion of the lower group
2 = bilangan konstan
P = Proporsi seluruh testee yang jawabannya betul
q = Proporsi seluruh testee yang jawabannya salah, dengan q= (1-p)
Tabel 4: Penghitungan Indeks tingkat kesulitan (P), Indeks Daya Pembeda (D), dan efektivitas pengecoh tiap butir soal.
No. Butir soal
P D Ket
1 (a)
b
c
d layak
2 a
b
(c)
d
3
4
5

50
Keterangan:
= jumlah jawaban betul kelompok tinggi
= jumlah jawaban betul kelompok rendah
P = indeks tingkat kesulitan tiap butir soal
D = indeks daya pembeda tiap butir soal
( ) = alternatif jawaban betul
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui kelayakan tiap butir soal pada soal A dan soal soal B. hasil perbandingan kelayakan antara soal A dan soal B digunakan untuk mengetahui presentase kelayakan untuk dijadikan alat evaluasi yang lebih baik.





G. Jadwal Penelitian
Penelitian ini dijadwalkan selama enam bulan dengan deskripsi kerja sebagai berikut.
Jenis Kegiatan Bulan ke-
1 2 3 4 5 6
1. Persiapan Penelitian
a. Pembuatan Proposal X
b. Studi Pendahuluan X X
c. Seminar Proposal Penelitian X
d. Penyusunan Instrumen X
e. Penentuan Lokasi dan sasaran penelitian X
2. Pelaksanaan Penelitian
a. Pengumpulan Data
1) Pengambilan&penggandaan soal UAN dan lembar jawaban uji coba soal UAN
2) Mengadakan uji coba soal UAN
3) Mengumpulkan lembar jawaban peserta uji coba soal
4) Meminta hasil penilaian uji coba
X



X
X

X
b.Analisis Data
1) Menghitung sebaran frekuensi jawaban siswa pada kartu data
2) Mengurutkan skor dan menggolongkan siswa pada kelompok tinggi dan kelompok rendah
3) Menganalisis jawaban siswa (mengetahui tingkat kesulitan, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh pada soal A dan soal B)
4) Membandingkan standar kelayakan pada soal A dan B
X

X













X



X
3. Laporan penelitian
a. Penyusunan Draf Penelitian X X
b. Penyempurnaan Draf X X
c. Seminar Hasil Penelitian X
d. Penyempurnaan Laporan Penelitian X
H. Biaya Penelitian
Biaya yang telah digunakan dalam penelitian ini sejumlah Rp 3.650.000. biaya tersebut dialokasikan sebagai berikut :
1. Honorarium
Guru 500.000
Tenaga Administratif 150.000
Penilaian Proposal 50.000
Pemantau Penelitian 100.000 800.000

2. Bahan dan peralatan
Kertas HVS 5 rim 200.000
Kertas folio bergaris 2 rim 50.000
Tinta printer 200.000
Satu set alat tulis 200.000
Penggandaan soal&LJK 100.000 750.000

3. Komunikasi dan perjalanan
Pencarian data 200.000
200.000

4. Laporan penelitian
Pengumpulan data 300.000
Analisis data 200.000
Penggandaan data 200.000
Revisi draf pelaporan 150.000
Pengetikan naskah dan penjilidan 200.000
1.050.000

5. Seminar
Seminar Proposal 200.000
Seminar Hasil Penelitian 250.000
450.000

6. Biaya lain-lain
Sewa komputer 200.000
Konsumsi selama pelaksanaan penelitian 200.000
400.000

Rekapitulasi Dana :
1. Honorarium 800.000
2. Bahan dan Peralatan 750.000
3. Komunikasi dan perjalanan 200.000
4. Laporan penelitian 1.050.000
5. Seminar 450.000
6. Biaya lain-lain 400.000
3.650.000

4. Daftar Rujukan

Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Daryanto, H. 2005. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Depdiknas. 2003. Penilaian Kelas. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang

Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta

Gim-Pih. 10 April 2007. Ujian Nasional Dilaksanakan April 2007. Diskusi Seputar Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007, (online), (www.smpit-nurulhikmah.com/indeks, diakses 12 Mei 2007)

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Nuryati. 2001. ”Analisis Soal Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas II Cawu II SMUN I Kalitidu Tahun Pelajaran 2000/2001”. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: JBSI FBS Unesa

Ratumanan, Tanwey Gerson dan Theresia Laurens. 2003. Evaluasi Hasil Belajar yang Relevan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Surabaya: Unesa University Press

Santiung, Weely. 2006. ”Pembelajaran Bahasa Indonesia melalui Asesmen Portofolio”. Lidah: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra. 4: 80-88

Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya dan Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Supangat. 2001. “Analisis Soal Ebtanas Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Tingkat SMU Tahun 2001”. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: JBSI FBS Unesa

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006 tentang Ujian Nasional tahun Pelajaran 2006/2007. 2006. Jakarta: Depdiknas

















Lampiran
KISI-KISI SOAL
Deskriptor Nomor Soal
A B
Siswa dapat menemukan gagasan pokok paragraf 1, 10 1, 10
Siswa dapat menemukan kalimat utama pragraf 2 2
Siswa dapat menemukan fakta dan pendapat pada teks 3, 4, 8, 11 3, 4, 8, 11
Siswa dapat memberikan kritik dan kesimpulan pada teks bacaan 5, 12, 14, 35 5, 12, 14, 35
Siswa dapat menemukan informasi yang relevan dengan teks 6, 9, 15 6, 9, 15
Siswa dapat menggunakan kata tanya 5W+1H untuk teks 7, 13 7, 13
Siswa dapat menemukan unsur-unsur yang ada dalam puisi dan mengaplikasikannya 16, 17, 18, 43, 44 16, 17, 18, 43, 44
Siswa dapat menemukan unsur-unsur yang ada dalam cerpen dan aplikasinya 19, 20, 21 19, 20, 21
Siswa dapat menemukan unsur-unsur yang ada dalam novel dan aplikasinya 22, 23, 24 22, 23, 24
Siswa dapat menemukan unsur-unsur yang ada dalam drama dan aplikasinya 25, 26, 27, 47 25, 26, 27, 47
Siswa dapat mengungkapkan kalimat yang tepat dalam buku harian 28, 29 28, 29
Siswa dapat menyusun sistematika laporan yang benar 30, 31 30, 31
Siswa dapat menyusun sistematika surat pribadi dengan tepat 32, 33 32, 33
Siswa dapat menulis petunjuk tentang sesuatu dengan tepat 34 34
Siswa dapat membedakan iklan, slogan, dan reklame 36, 37 36, 37
Siswa dapat menyusun sistematika sambutan 38 38
Siswa dapat menyusun sistematika karya tulis 39, 40, 41 39, 40, 41
Siswa dapat menulis daftar pustaka dengan benar 42 42
Siswa dapat menulis pantun 45, 46 45, 46
Siswa dapat menyusun kamus 48 48
Siswa dapat menulis kalimat efektif 49, 50 49, 50
Berdasarkan tabel di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua soal tersebut memiliki jenis soal yang paralel karena deskriptor soal yang sma pada nomor soal yang sama pula.





















KARTU DATA
Sebaran Frekuensi Jawaban Siswa terhadap Alternatif Jawaban
Nama:...............................
Nomor Soal Kelompok Tinggi Kelompok Rendah
A B C D A B C D
1
2
3
4
5
6
....
50