Rekonstruksi Bahasa dan Retorika Mahasiswa
Oleh
Rosyidatul Hidayati-PR ‘04
A. Pendahuluan
Bahasa adalah penemuan manusia yang paling menakjubkan: manusia sungguh-sungguh “sapiens” (bijaksana, berbudi) hanya karena ia “loquens (bertutur), yakni karena ia dapat belajar bercakap (Paul Chauchard dalam Baryadi, 2004: 1). Setiap manusia secara fitrah memiliki kemampuan berbahasa. Dengan bahasa, manusia dapat mengekspresikan perasaan dan pikirannya.
Bahasa merupakan media retorika, sedangkan retorika sering digunakan sebagai ilmu berbicara yang diperlukan setiap orang (Rakhmat, 2001: 2). Ketika berbicara di depan umum, mahasiswa juga membutuhkan ilmu retorika untuk menunjang kualitas pembicaraannya. Selain itu, retorika digunakan untuk meyakinkan pendengar akan kebenaran gagasan/topik yang dibicarakan. Namun pada kenyataannya, tidak banyak mahasiswa yang mampu menggunakan retorika dengan baik dan efektif. Oleh karena itu, perlu adanya rekonstruksi bahasa dan retorika yang digunakan mahasiswa dalam berkomunikasi atau berbicara di depan umum. Rekonstruksi tersebut dapat dimulai dari segi penggunaan bahasa yang digunakan dalam berbicara. Kemudian selanjutnya pada ilmu retorika yang harus digunakan, yaitu metode dan etika retorika.
Dengan merekonstruksi bahasa dan retorika, diharapkan kemampuan berbicara mahasiswa akan termasuk dalam kategori “mahasiswa yang berbicara secara intelektual”.
B. Bahasa
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana dalam Aslinda dan Syafyahya, 2007: 1). Manusia dengan segala rutinitas dan aktivitasnya, tidak pernah terlepas dari bahasa, karena bahasa merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan. Dengan bahasa, manusia dapat mengomunikasikan apa yang dipikirkan dan dapat pula mengekspresikan sikap dan perasaanya ( Arsjad, 1991: 11). Hal itu adalah salah satu yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lainnya.
Orang berbahasa karena adanya suatu rangsangan dari lingkungannya yang harus segera direspon melalui bahasa. Hal itu menunjukkan bahwa bahasa merupakan sistem lambang yang digunakan untuk berinteraksi di dalam masyarakat.
Hakikat dan Fungsi Bahasa
Hakikat bahasa menurut Reching Koen (Aslinda dan Syafyahya, 2007: 2) memiliki tiga sifat (a) mengganti, (b) individual, (c) kooperatif, dan (d) sebagai alat komunikasi.
1. Mengganti
Bahasa dapat menggantikan suatu peristiwa yang seharusnya dilakukan oleh individu/ kelompok.
2. Individual
Seorang individu/ kelompok dapat meminta individu/ kelompok lain untuk melakukan suatu pekerjaan. Bahasa yang diucapkan oleh seorang individu kepada individu lain bersifat individual.
3. Kooperatif
Ketika sebuah bahasa telah dilahirkan dalam kalimat yang didengar oleh individu lain untuk melakukan pekerjaan yang diminta, maka kesediaan seorang individu dalam melakukan pekerjaan itu karena adanya unsure kooperatif antar individu.
4. Alat Komunikasi
Bahasa merupakan alat komunikasi.
Fungsi bahasa adalah alasan-alasan seseorang berbicara. Menurut Mar’at (2005: 19) ada dua macam fungsi bahasa yaitu:
1. fungsi bahasa yang bersifat intrapersonal, yaitu penggunaan bahasa untuk memecahkan persoalan, mengambil keputusan, berpikir, mengingat, dan sebagainya,
2. fungsi bahasa yang bersifat interpersonal, yaitu yang menunjukkan adanya suatu pesan atau keinginan penutur.
Bahasa tidak dapat terlepas dari aktivitas sosial. Oleh karena itu, Halliday dalam Santoso (2003: 20-21) mengemukakan ada tiga metafungsi sehubungan dengan penggunaan bahasa di dalam proses sosial di suatu masyarakat. Ketiga metafungsi tersebut ialah:
1. ideasional
yang termasuk di dalam fungsi ini adalah fungsi eksperiensial dan logikal. Fungsi ideasional: eksperiensial merupakan penggunaan bahasa untuk merefleksikan realitas pengalaman pembicaranya;
2. interpersonal
fungsi interpersonal menggambarkan hubungna sosial antar partisipan. Interaksi sosial seperti apa yang sedang berjalan: memberi atau meminta informasi atau memberi atau meminta barang atau jasa;
3. tekstual
fungsi tekstual tergambar melalui makna simbol yang merealisasikan kedua makna sebelumnya: ideasional dan interpersonal.
C. Retorika
Retorika berasal dari bahasa Yunani yaitu rhêtôr, orator, teacher. Secara umum, retorika ialah seni atau teknik persuasi menggunakan media oral atau tertulis (Wikipedia, 1996). Sejalan dengan pengertian tersebut, Aristoteles (Arsjad, 1991: 5) menjelaskan bahwa retorika adalah ilmu yang mengajarkan suatu keterampilan menemukan secara persuatif dan objektif suatu kasus dengan meyakinkan pihak lain akan kebenaran kasus yang dibicarakan. Jadi, tujuan retorika adalah persuasi untuk meyakinkan pendengar akan kebenaran gagasan/ topik yang dibicarakan pembicara sehingga dapat membina saling pengertian yang mengembangkan kerja sama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat melalui kegiatan berbicara.
Jika selama ini, retorika dianggap sebagai ilmu pidato semata, sekarang fungsi retorika telah mengalami perluasan. Retorika merupakan bidang studi komunikasi yang turut mengembangkan ilmu komunikasi (Rakhmat, 2001: 2). Rakhmat menyebut retorika sebagai “ilmu bicara”.
Fungsi retorika menurut Aristoteles (Arsjad, 1991: 5) ada empat fungsi, yaitu:
a. menuntut orang mengambil keputusan dalam menghadapi berbagai kemungkinan memecahkan suatu kasus;
b. membimbing orang memahami kondisi kejiwaan penanggap tutur;
c. memimpin orang menganalisis kasus secara sistematis objektif untuk menemukan secara persuasif yang efektif untuk meyakinkan orang; dan
d. mengajarkan cara-cara yang efektif untuk mempertahankan gagasan.
D. Bahasa dan Retorika dalam Komunikasi Mahasiswa
Pada dasarnya berbicara dan berbahasa tidak membentuk wujud yang berbeda. Keduanya merupakan perbuatan menggunakan bunyi-bunyi bahasa yang terepresentasikan melalui penerjemahan sistem simbol yang bermakna. Hal itu, menunjukkan bahwa bahasa digunakan dalam percakapan karena bahasa merupakan kombinasi kata yang diatur secara sistematis sebagai alat komunikasi (Wibowo, 2003: 3).
Menurut Arsjad (1991: 17) ada beberapa faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan yang harus dikuasai untuk menunjang efektivitas pembicaraan.
1. Faktor Kebahasaan
a. ketepatan ucapan
b. penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai
c. pilihan kata
d. ketepatan sasaran pembicaraan
2. Faktor Nonkebahasaan
a. sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku
b. pandangan harus diluruskan kepada lawan bicara
c. kesediaan menghargai pendapat orang lain
d. gerak-gerik dan mimik yang tepat
e. kenyaringan suara yang sangat menentukan
f. kelancaran
g. relevansi/penalaran
h. penguasaan topik
Di dalam perkuliahan, tidak banyak yang memiliki keterampilan berbahasa maupun beretorika dengan baik dan efektif. Banyak orang yang berdalih bahwa dalam berbicara sudah cukup bila pendengarnya dapat mengerti apa yang dimaksudkannya. Namun mereka belum dapat memastikan kadar kemengertian pembicaraannya. Menurut Supratman (1982: 20) seorang pembicara yang baik, seharusnya menyadari adanya beberapa kemungkinan yang terjadi seperti pendengarnya mengerutkan dahi sebagai tanda bahwa pembicaraannya menyulitkan pendengar dan kurang komunikatif, serta pendengarnya itu gelisah, tidak sabar, dan ingin pembicaraannya segera diakhiri. Pembicara sebaiknya menyadari bahwa pembicaraannya itu mengesankan atau tak berbekas. Pembicara sebaiknya memiliki kadar daya tarik, kadar daya mengasyikkan, dan kadar kesan yang tinggi.
Jadi, terampil berbicara bukan hanya banyak bicara, bukan hanya fasih dan lancar. Terampil berbicara tidak hanya disimak dari validitas secara kuantitatif, tetapi juga harus dapat disimak melalui kadar kualitatifnya. Berbicara yang efektif seyogyanya menyenangkan, memiliki daya tarik, mengasyikkan, ,mengesankan, mencapai tujuan secara jelas serta mengundang rasa simpatik pendengar. Untuk dapat berbicara yang efektif, diperlukan ilmu retorika. Metode yang harus diikuti oleh pembicara agar mendapatkan hasil retorika yang berkualitas menurut Wildensyah (1991) terdapat empat metode sebagai berikut.
1. Exordium (pendahuluan)
Fungsinya pengantar ke arah pokok persoalan yang akan dibahas dan sebagai upaya menyiapkan mental para hadirin (mental prepation) dan membangkitkan perhatian (attention arousing). Berbagai cara dapat ditampilkan untuk memikat perhatian hadirin.
- Mengemukakan kutipan (ayat kitab suci, pendapat ahli kenamaan, dan sebagainya)
- Mengajukan pertanyaan
- Menyajikan ilustrasi yang spesifik
- Memberikan fakta yang mengejutkan
- Menyajikan hal yang bersifat manusia (human interest)
- Mengetengahkan pengalaman yang ganjil
Hal yang perlu dihindari sebagai berikut.
- Permintaan maaf karena kurang persiapan, tidak menguasai materi, tidak pengalaman
- Menyajikan sebuah lelucon yang berlebihan
2. Protesis (latar belakang)
Mengemukakan hakekat pokok persoalan tersebut secara faktual atau secara kesejahteraan nilainya serta fungsinya dalam kehidupan. Jadi pembahasan ini dikemukakan sedemikian rupa sehingga tampak jelas kaitannya dengan kepentingan pendengar.
3. Argumentasi (isi)
Memberikan ulasan-ulasan tentang topik yang akan disajikan secara teoretis, kemudian mengemukakan kekuatan posisinya.
4 Conclusio (kesimpulan)
Suatu penegasan hasil pertimbangan yang mengandung justifikasi atau pembenaran menurut penalaran pembicara. Hal yang perlu dihindari sebagai berikut.
- Mengemukakan fakta baru
- Mengemukakan kata-kata mubazir dan tidak fungsional
Dua persyaratan mutlak bagi orang yang akan muncul sebagai pembicara:
- source credibility atau sumber yang terpercaya (ahli dibidangnya)
- source actractivinees atau daya tarik sumber artinya memiliki penampilan yang meyakinkan untuk tampil sebagai pembicara.
Selain metode yang harus diperhatikan, pembicara juga harus memiliki etika retorika sebagai berikut.
- Memperhatikan kondisi keadaan tertentu, hal ini memerlukan keputusan yang bijaksana, humanistis dan etis sosial
- Memperhatikan standar benar tidaknya ditentukan hukum
- Memperhatikan etika nilai adat istiadat atau tata nilai kesopanan yang berlaku di masyarakat
- Memperhatikan alasan logis atau fakta yang ada
- Memiliki kekuatan dalil atau nash
Selain fenomena banyaknya mahasiswa yang hanya pintar “berdalih” namun tidak memiliki kualitas dan efektivitas pembicaraan seperti yang telah dikemukakan di atas, tidak sedikit pula mahasiswa yang “gagap” berbicara.
Ketika perkuliahan berlangsung, hanya ada segelintir mahasiswa yang turut beropini dalam mengemukakan suatu permasalahan. Sebagian besar mahasiswa merasa “enggan” untuk berbicara. Mereka hanya diam, tidak turut memberikan komentar, sampai pada akhirnya dosen memaksa mereka untuk berbicara. Bentuk pemaksaan tersebut ialah stimulus agar mahasiswa mau berbicara dengan iming-iming nilai.
Jika melihat fakta yang lain, bisa jadi, perasaan “enggan” berbicara tersebut karena adanya faktor ketakutan. Perasaan takut berbicara di depan umum merupakan sesuatu yang wajar. Osborne (1994: 2) mengungkapkan bahwa perasaan takut itu mungkin mencakup:
- rasa takut secara fisik terhadap pendengar,
- rasa takut akan ditertawakan orang,
- rasa takut bahwa diri Anda akan jadi tontonan orang,
- rasa takut bahwa apa yang mungkin akan Anda kemukakan tidak pantas untuk dikemukakan,
- rasa takut bahwa Anda mungkin membosankan para pendengar.
Untuk menanggulangi perasaan takut tersebut, pembicara harus mampu menanamkan sikap percaya diri. Sikap percaya diri dapat dibentuk dengan cara memperluas wilayah kesenangannya. Osborne (1994: 3) menyatakan bahwa suatu sikap menyenangkan dapat dimulai dengan membangun citra diri yang dapat diungkapkan dengan “saya senang berbicara di depan umum”. Kalimat itu dapat diucapkan berulangkali ketika menghadapi situasi yang mengharuskan seseorang untuk berbicara.
Selain itu, untuk menggugah minat agar mahasiswa yang biasanya “diam” di kelas untuk ikut berbicara tanpa dipaksa, ada beberapa hal yang harus dipompakan dalam dirinya. Beberapa hal tersebut ialah unsur ketenangan, semangat, gerak-gerik dan perasaan, serta pemahaman pembicara akan kebenaran isi yang dibicarakan. (Muhadjir, dkk dalam Supratman, 1982: 22).
Ada beberapa kiat yang disampaikan oleh Supratman (1982: 35) yang dapat dijadikan acuan sebagai indikator keberhasilan berbicara.
1. Lafal dan volume suara
- Tidak menggunakan pengaruh lafal asing
- Tiap fonem diucapkan dengan jelas
- Suaranya segar dan menarik serta simpatik
- Gagasan mudah ditangkap
2. Intonasi (tekanan, jeda, dan tempo)
- Penggunaan tekanan, pemberhentian dan tempo dilakukan secara tepat dan menarik sesuai dengan situasi dan kebutuhan pembicaraan
- Komunikasi menyenangkan dan mudah ditanggap
3. Perbendaharaan kata
- Kata-kata digunakan secara tepat, cermat, serta bervariasi, sehingga apa yang dikemukakan cukup menarik dan mudah dipahami
- Daya imajinasi pendengar cukup berkembang
4. Komposisi bentuk bahasa
- Unsur gagasan dituturkan dengan urutan yang logis dan menarik serta bervariasi
5. Pemahaman isi pembicaraan
- Kelancaran pembicaraannya menunjukkan bahwa ia yakin dengan yang dikemukakan
- Variasi pembicaraan orisinal dan kreatif
- Pendengar merasa senang mendapatkan hal-hal yang baru yang dikemukakannya
6. Kelancaran
- Kelancaran pembicaraannya dapat membuat pendengar yakin dengan yang dikemukakannya
7. Sikap berbicara
- Baru berbicara setelah ia mengikuti dengan seksama pembicaraan pendengar
- Ia berpretensi mengemukakan pendapat yang saling menguntungkan
- Ia hati-hati bila akan menyanggah pendapat orang
8. Pretensi pembicaraan
- Ia hanya berbicara mengenai hal-hal yang bermanfaat bagi pendengar
- Gagasannya orisinal dan segar
- Ia menghargai dan jujur bila menggunakan pendapat (mengutip) orang lain
E. Penutup
Jika dalam forum kecil, mahasiswa harus “dipaksa” untuk berbicara, bagaimana jika dalam forum yang besar? Akankah gagasan yang tersimpan dalam memori mereka akan tersalurkan? Hal ini perlu kiranya untuk jadi perenungan bersama.
Perlu dipersiapkan dengan baik dan cermat, bahan-bahan pembicaraan yang tepat, patut dan menarik untuk dibicarakan, yang disusun sedemikian rupa untuk memudahkan mahasiswa berbicara.
Rekonstruksi bahasa dan retorika dapat dimulai dengan penguasaan unsur-unsur kebahasaan dan nonkebahasaan dalam berbicara. Setelah itu, penting juga seorang pembicara menggunakan metode dan etika retorika yang tepat. Dengan demikian, diharapkan akan tercetak generasi mahasiswa yang terampil berbicara secara intelektual.
Daftar Rujukan
Arsjad, Maidar G. dan US, Mukti. 1991. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga
Aslinda, dan Syafyahya, Leni. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bnadung: PT. Refika Aditama
Baryadi, I. Praptomo. 2004. “Berbagai Pandangan Tentang Kompetensi Berbahasa”. Dalam Taum, Yoseph Yapi, dkk (Editor). Bahasa Merajut Sastra Merunut Budaya. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma
Bormann, Ernest G. dan Bormann, Nancy G. 1991. Retorika: Suatu Pendekatan Terpadu. Terjemahan oleh Pulus Sulasdi. Jakarta: Erlangga
Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Refika Aditama
Medan, Tamsin. 1988. Antologi Kebahasaan. Bandung: Angkasa Raya
Osborne, John W. 1994. Kiat Berbicara Di Depan Umum untuk Eksekutif. Terjemahan Walfred Andre. Jakarta: Bumi Aksara
Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial. Surabaya: Pustaka Eureka dan JP Press
Supratman, Dandan. 1982. “ Mengukur Keterampilan Berbicara”. Media: Jurnal Fakultas Keguruan Sastra Seni IKIP Semarang. 16: 13-58
Wibowo, Wahyu. 2003. Manajemen Bahasa: Pengorganisasian Karangan Pragmatik dalam Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa dan Praktisi Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wikipedia. 1996. Retorika. Tersedia pada http://id.wikipedia.org/wiki/retorika, diakses 3 November 2007
Wildensyah, Iden. 1991. Retorika. Tersedia pada http://penakayu.blogdrive.com/comments?id=91, diakses 3 November 2007
Selasa, 01 April 2008
Langganan:
Postingan (Atom)